Seringkali
cinta diibaratkan dengan kapal dan dermaga, dimana pernikahan berarti
kala sang kapal menautkan sauh dan berhenti di dermaga itu. Tapi bukan
kah setelah itu sang kapal akan kembali berlayar?
Kadang cinta
pun diibaratkan sungai yang berujung kepada laut sebagai jodohnya. Lika
liku aliran sungai menjadi saksi bisu perjuangan sang tirta untuk
memenuhi janjinya kepada laut. Namun apa yang akan terjadi jika air itu
singgah di sebuah danau dan terjebak disana selamanya?
Dan di
sebuah tempat di belahan dunia yang lain, hati disimbolkan serupa gembok
dan kuncinya. Saat hati telah dikunci dan kuncinya dilemparkan entah
kemana, gembok itu akan selamanya berada disana. Tetapi semakin lama
gembok itu akan menua dan berkarat berkat hujan empat musim yang menari
di sekitarnya dan bukankah gembok itu akan rapuh dan lepas dengan
sendirinya?
Jadi, perumpamaan apa lagi yang bisa ku patrikan
disini jika semua perumpamaan itu tidak bisa sesempurna esensi cinta
yang sesungguhnya?
- sebuah pertanyaan malam ini oleh Noor Sa'adah (Enoey)
Mimpi indah sering kali terbunuh oleh kenyataan. Dan realita sering kali mati rasa oleh impian.
Penyiksaan yang saling dilakukan tanpa sengaja serta kasih sayang yang tertuang dalam sepi.
Berharap menjadi orang lain saat orang lain itu berharap menjadi orang lain yang sebenarnya juga ingin menjadi orang lain.
Begitu
dan begitu. Terus dan terus. Serupa lingkaran yang berdiameter jutaan
kali lebih besar dari Matahari. Maka suatu saat akan kembali ke kita
pada saat kita telah lupa.
Saat itu, kamu dan dia, kamu dan aku,
aku dan dia, dia dan dia, kita dan kamu, kamu dan kami, kami dan mereka,
sudah tak lagi bisa bercerita.
Karena mimpi telah tiada. Dan realita telah menua.
Hingga ada satu titik dimana kita meminta atau bahkan mungkin memohon dengan sangat, kepada sang waktu, untuk sekedar berhenti sejenak, Membekukan sementara, mimpi-mimpi yang masih muda dan belum terbunuh oleh realita.
- sebuah puisi sebelum tidur oleh Noor Sa'adah (Enoey)
Seringkali kulihat langit memeluk awan di batas kota Menahannya untuk menaungi pohon cemara
Seringkali kutemukan awan berbisik dan bertanya ada apa dengan dunia dan kita
Dan seringkali pula kutemukan diriku sendiri, melompat-lompat, berharap menjadi sebuah kapal terbang untuk mencuri dengar kisah-kisah yang mereka tonton dalam diam
Bisakah mereka menyapaku? Menyanyikan lagu-lagu lama dengan lirik yang baru. Kala rasa yang kesepian menanti kabar yang hati sisipkan diantara bulir-bulir awan kelabu
Dan aku menunggu kedatangan hujan, untuk membiarkan kabar itu jatuh di pangkuanku
Ketika bintang tidak pernah memaksa untuk bertemu langit biru Dia sudah tahu Bahwa langit malam tidak pernah berhenti memeluknya untuk mengobati kerinduannya itu
Perempuan yang menutup separuh wajahnya dengan malu-malu Tidak pernah meminta lebih dari sekedar harapan yang telah tergantung di atas langit-langit diantara rasi sang perawan dan pemburu
Dan dirimu yang berdiri diantara keduanya Bintang dan perempuan Terbakar
tanpa pernah menjadi abu
-
sebuah puisi dikala mata diantara dunia nyata dan dunia mimpi
Kita mungkin pernah menuduh bahwa alam semesta terlalu kejam. Membuat cerita hidup tidak searah dengan panah yang kita lemparkan.
Dan mungkin sang semesta pun menganggap kita kejam Untuk memperkarakan tentang daun yang jatuh atau hati yang rapuh kepada dirinya.
Ditengah-tengah perang dingin kekejaman yang dari entah atau kepada entah ia bermuara.
Ada orang-orang yang bahagia dengan hidupnya. Tertawa untuk kekecewaannya. Menari untuk kesedihannya.
Hingga seringkali 'kita' Yang iri pada 'mereka' Semakin terobsesi dengan kata adil tidak adil kejam tidak kejam jika maka kenapa harus aku dan kemudian tanda tanya
Berdamai sajalah kita dengan alam semesta Siapa tahu Kita dan alam semesta bisa menjadi rekan hidup sampai mati untuk mengalahkan mereka yang bahagia.
- Sebuah puisi dikala flu oleh Noor Sa'adah (Duestinae)