Spirit Bound ~ Bahasa Indonesia (Chapter 2) part 1

by - 1:09 PM

UJIANKU TERASA TERLIHAT SAMAR.
Kau pasti berpikir, mengingat ujian ini merupakan bagian paling penting dalan kehidupan pendidikanku di ST. Vladimir, sehingga aku harusnya mengingat segalanya dalam kesempurnaan, detil yang mengagumkan. Namun pikiran terbaruku sepertinya menyadarkanku. Bagaimana bisa semua ukuran ini sebanding dengan apa yang pernah aku alami? Bagaimana bisa pertempuran pura-pura ini dibandingkan dengan kepungan Strigoi yang menyerbu sekolah kami? Aku harus berdiri memunggungi perasaan aneh yang melimpah, tidak mengetahui jika dia yang kucintai masih hidup atau telah mati.

Dan bagaimana bisa aku takut pada pertarungan dengan satu dari instruktur sekolahku setelah mengalami perkelahian dengan Dimitri? Dia sangan mematikan saat menjadi dhampir dan tambah parah saat menjadi Strigoi. Tidak satupun dari semua yag aku maksudkan itu bisa menerangi ujian ini. Ujian ini serius. Banyak novis yang gagal dalam ujian ini selama ini, dan aku menolak untuk menjadi salah satu dari mereka. Aku telah diserang dari segala sisi, oleh para pengawal yang telah bertarung dan melindungi Moroi sejak sebelum aku nlahir. Arena pertarungan tidak datar, yang artinya begitu rumit di segala bagian. Mereka memenuhi arena dengan alat-alat aneh dan banyak rintangan, balok dan pijakan yang menguji keseimbanganku – termasuk sebuah jembatan yang telah mengingatkanku secara menyakitkan tentang malam terakhir aku melihat Dimitri. Aku mendorongnya setalh menancapkan sebuah pasah perak ke jantungnya – sebuah pasak yang jatuh saat ia terjerembab ke dalam sungai di bawah jembatan.



Jembatan di arena sedikit berbeda dengan jembatan kayu yang kuat seperti tempat dimana Dimitri dan aku berkelahi di Siberia. Jembatan yang ini reyot, jalan kecil dengan konstruksi yang buruk yang terbuat dari potongan kayu dengan hanya ada tali yang memagari sebagi dukungan terhadap jembatan itu.n Setiap langakh membuat seluruh jembatan bergoyang dan mengayun, dan lubang-lubang di papan menunjukkan padaku dimana tempat para mantan teman sekelasku (dengan tidak beruntung bagi mereka) menemui titik kelemahan. 


Ujian yang mereka tugaskan untuku di jemabatn mungkin adalah yang paling burung diantara semuanya. Tujuanku adalah unutk mendapatkan “Moroi” dan menjauhkannya dari kelompok “Strigoi” yang sedang mengejar. Moroi sedang diperankan oleh Daniel, pengawal baru yang datang bersama pengawal lai ke sekolah untuk menggantikan para pengawal yang terbunuh dalam penyerangan. Aku tidak terlalu mengenalnya, tapi untuk ujian kali ini, dia berperan sungguh sangat jinak dan tidak berguna – bahakn sedikit ketakutan, sama seeprti Moroi manapun yang mungkin akan ku kawal kelak.

Dia memberiku sedikit perlawanan saat menginjak jembatan itu, dan aku menggunakan keahlian ketenanganku, lebih banyak menggunakan suara membujuk agar membuatnyapada akhirnya mau berjalan di depanku. Sebenarnya mereka sedang menguji keahlian orang-orang sama baiknya dengan keahlian bertarung. 
Tidak jauh di belakang kami di jalan itu, aku telah tahu para pengawal yang berperan sebagai Strigoi akan datang. Danial melangkah dan aku membayanginya, masih memberikan jamina kemanan saat semua inderaku terus dalam kondisi waspada. Jembatan berayun menggila, mengatakan padaku dengan sebuah sentakan kalau para pengejar kami sudah bergabung. Aku melirik ke belakang dan melihat tiga “Strigoi” mendatangi kami. Para pengawal yang memainkan peran Strigoi telah melakukan pekerjaan yang mengagumkan – bergerak dengan ketangkasan dan kecepatan yang sama dengan Strigoi asli bisa lakukan. Mereka akan menyusul kami jika kami tidak bergerak maju.

“Kau mekakukannya dengan bagus sekali,” kataku pada Daniel. Sangat sulit untuk tetap menjaga nada suaraku dengan tepat. Berteriak kepada Moroi mungkin akan membuat mereka syok. Terlalu benayak kelembutan membuat mereka berpikir kalau in tidak seirus. “Dan aku tahu kau bisa bergerak lebih cepat lagi. Kita perlu mendahului mereka – mereka semakin dekat. Aku tahu kau pasti bisa melakukannya. Ayolah.”

Aku harus melewati bagian membujuk dari ujian ini karena dia jelas mempercepat langkahnya – tidak cukup cepat untuk menandingi kecepatan empat pengejar kami, tapi itu hanyalah awalnya. Jembatan bergerak menggila lagi. Daniel memekik dengan meyakinkan dan membeku, mencengkarm sisi tali dengan kuat. Di depan dia, aku melihat pengawal lai – sebagai- Strigoi menunggu di sisi berlawanan dari jembatan. Aku yakin namanya adalah Randall, instruktur baru yang lain. Aku seperti roti lapis diantara dia dan gerombolan di belakangku. Tapi Randall tetap diam, menunggu di kayu pertama jembatan sehingga dia bisa menggoyangkan jembatan ini dan membuatnya semakin sulit bagi kami.

“Terus berjalan,” aku mendorongnya, pikiranku berputar. “Kau bisa melakukannya.”
“Tapi ada Strigoi disana! Kita terjebak,” Daniel berteriak.
“Jangan khawatir. Aku akan melawannya. Bergerak saja.”
Suaraku terdengar hebat kali ini, dan Daniel merangkak maju, terdorong oleh perintahku. Saat-saat berikutnya aku memerlukan perhitungan waktu yang tepat. Aku harus mewaspadai “Strigoi” di kedua sisi kami dan tetap membuat Daniel bergerak, semua itu dilakukan saat aku memperhitungkan dimana kami berada di jembatan. Ketika kami sudah berada hampir di tiga per lima jalan menyebrang, aku mendesis, “Berhenti di langkah keempat sekarang! cepat!”

Dia menurut, bersiap berhenti. Aku berlutut, masih berbicara dengan nada rendah: “Aku akan berteriak padamu. Acuhkan saja.” dengan suara keras, agar mendapatkan keuntungan dari mereka yang mengejar kami, aku berseru, “Apa yang kau lakukan? Kita tidak bisa berhenti!”

Daniel tidak peduli, dan aku kembali berbicara dengan suara kecil. “Bagus. Lihat dimana tali itu terhubung dengan dasar pagar? Pegang tali-tali itu. Pegang sekuat yang kau bisa, dan jangan lepaskan, apapun yang terjadi. Belitkan di tanganmu jika itu perlu. Lakukan sekarang!”

Dia menurut. Jam terus berdetik dan aku tidak ingin membuang waktu lagi. Dalam satu gerakan, ketika masih dalam posisi membungkuk, aku berbalik dan memotong tali dengan sebuah pisau yang diberikan sepaket dengan pasakku. Mata pisaunya begitu tajam, terima kasih Tuhan. Para pengawal yang bertugas dalam ujian ini tidak pernah mengacaukannya. Pisau ini tidak serta merta mengiris talinya, tetapi aku memotongnya dengan cepat sehingga si “Strigoi” di sisi kami yang lain tidak punya waktu untuk bereaksi.

Talinya bergemertaak saat aku kembali mengingatkan daniel untuk terus berpegangan. Jembatan yang membagi dua berayun menuju sisi dari tangga kayu, terbawa oleh beratnya orang-orang yang berada di atasnya. Sebenarnya, berat kami lah yang paling tidak membuat keadaannya jadi begitu. Daniel dan aku telah bersiap-siap. Ketiga pengejar di belakang kami tampaknya belum siap. Dua dari mereka jatuh. Satu hanya berusaha memegang sebuah papan, tergelincir sedikit sebelum memperbaiki pegangannya. Jarak jatuhnya sebenarnya setinggi enam kaki, tapi aku sudah di peringatkan untuk tetap menganggapnya berjarak 50 kaki – sebuah jarak yang mungkin akan membunuhku dan Daniel jika kami terjatuh. 

Mengesampingkan semua keanehan, daniel masih berpegangan pada tali. Aku juga berpegangan sebaik mungkin, dan sekali tali dan kayu itu rebah datar memunggungi sisi tangga-tangga itu, aku mulai berjuang mnaikinya seolah yang kuinjak itu tangga. Tidak mudah untuk memanjat dengan menggunakan daniel, tapi aku melakukannya, memberiku satu kesempatan lagi untuk mengatakan padanya agar terus bertahan. Randall, yang menunggu di depan kami, belum terjatuh. Dia berhasil memijakkan kakinya saat aku memotong jembatannya, dan cukup kaget saat ia kehilangan keseimbangannya. Pulih dengan cepat, dia bergoyang-goyang di tali, mencoba menaiki permukaan yang aman di atas. Dia lebih dekat dengan permukaan itu ketimbang aku, tapi aku menangkap kakinya dan menghentikannya. Aku menyentak dirinya ke arahku. Dia mencoba memperbaiki pegangannya pada jembatan, dan kami sama-sama berjuang. Aku tahu kecil kemungkinan aku bisa menjatuhkannya, tapi aku mampu untuk memperdekat jarak kami. Akhirnya, aku melepaskan pisau yang terus kupegang dan berusaha mengambil pasak dari ikat pinggangku – sesuatu menguji keseimbanganku. Posisi Randall yang canggung memberiku kesempatan untuk menusuk jantungnya, dan aku melakukannya.

Untuk ujian, kami diberikan pasak yang tumpul, tidak akan melukai kulit tetapi saat digunakan, pasak ini cukup kuat untuk meyakinkan lawan kita kalau kita tahu apa yang sedang kita lakukan. Posisiku sangat sempurna, dan Randall, mengakui kali ini merupakan pukulan yang membunuhnya, melepaskan pegangannya dan jatuh dari jembatan.

Meninggalkan tugas yang menyakitkan untuk membujuk daniel naik. Butuh waktu yang cukup lama, tapi lagi-lagi, tingkahnya tidak mirip dengan karakter bagaimana seorang Moroi yang ketakutan berperilaku. Aku hanya bersyukur karena dia tidak memutuskan kalau Moroi yang sesungguhnya mungkin tidak akan bertahan untuk bertahan dan akan jatuh. 

Setelah semua rintangan yang datang semakin banyak, tetapi aku terus melawan, tidak pernah memperlambat seranganku atau membiarkan rasa lelah menggangguku. Aku masuk dalam tipe siap berperang, semua inderaku fokus terhadap insting terdasarku: lawan, menghindar, bunuh.

Dan saat terus mendengarkan insting itu, aku masih harus berinovasi dan untuk tidak dalam ketenangan. Sebaliknya, aku tidak akan mampu untuk bereaksi terhadapa sebuah kejutan seperti di jembatan tadi. Aku mengatur semuanya, melawan dengan satu-satunya pikiran untuk terus mendahulukan tugasku daripada diriku sendiri. Aku mencoba untuk tidak berpikir kalau para instrukturku adalh orang-orang yang sduah aku kenal. Aku memperlakukan mereka seperti aku memperlakukan Strigoi. Aku menark tanpa memukul.

Ketika ujian ini akhirnya berakhir, aku hampir tidak menyadarinya sama sekali. Aku terus saja berdiri di tengah-tengah arena tanpa adanya penyerang yang mendatangiku. Aku sendirian. Perlahan, aku menjadi lebih waspada dengan setiap detilnya. Para penonton di pinggir arena bersorak. Beberapa instruktur saling menganggukkan kepala saat mereka bergabung.

Jantungku berdetak keras. 
Detakannya ridak berhenti sampai Alberta dengan seringaiannya menyentuh tanganku yang akhirnya menyadarkanku kalau ujian ini sudah selesai. Ujian yang akku tunggu selama ini, berakhir serasa dalam sekejap mata saja.

“Ayo,” katanya, merangkulkan tangannya di bahuku dan membimbingku ke arah pintu keluar.
“Kau perlu minum dan duduk.”

Bingung, aku membiarkannya membimbingku keluar dari arena, orang-orang di sekeliling kami masih bersorak dan meneriakkan namaku. Di belakang kami, aku mendengar orang-orang berkata kalau mereka harus istirahat dan memperbaiki jembatannya. 

Alberta membawaku kembali ke ruang tunggu dan dengan lembut mendorongku ke sebuah kursi panjang. Seseorang duduk di sampingku dan menyerahkan sebotol air. Aku berpaling dan aku menemukan ibuku disampingku. Wajahnya mengekspresikan sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya: tulus, kebanggan yang luar biasa.

“Hanya itu?” tanyaku akhirnya.
Dia mengejutkanku lagi dengan tawa gelinya. 

“Hanya itu?” dia mengulangi perkataanku. “Rose, kau ada di sana hampir selama satu jam. Kau melewati ujian ini dengan warna berbeda – mungkin satu dari ujian terbaik yang pernah diperlihatkan di sekolah ini.”

“Benarkah? Hanya saja ini terasa ...” mudah bukanlah kata yang cukup tepat. “ Terasa membingungkan, hanya itu.”

Ibuku meremas tanganku. “Kau luar biasa. Aku sangat sangat bangga padamu.”

Semua kenyataan ini benar-benar, benar-benar menyadarkanku kemudia, dan aku merasakan sebuah senyuman mekar di bibirku.
“Sekarang apa yang akan terjadi?” tanyaku
“Sekarang kau menjadi pengawal.”

Aku sudah sering kali ditato, tapi tidak satupun dari acara itu bisa disamakan dengan upacara dan keriuhan yang terjadi saat mendapatkan tanda sumpahku.

Sebelum aku mendapatkan tanda molinja karena telah melakukan pembunuhan yang tidak kuharapkan, kekacauan yang targis: bertarung dengan Strigoi di Spokane, penyerangan sekolah, dan misi penyelamatan yang mneyebabkan duka cita, bukan perayaan. 

Setelah semua pembunuhan itu, kami tidak lagi bisa menghitung jumlahnya, dan saat pelukis tato masih mencoba untuk menghitung setiap orang yang dibunuh, mereka akhirnya memberiku sebuah tanda berbentuk bintang yang dengan cara hebat menyatakan kalau kami tidak lagi bisa menghitung berapa Strigoi yang sudah kubunuh.

Membubuhkan Tato bukan proses yang cepat, meskipu kau hanya mendapatkan ukuran yang kecil, dan seluruh teman sekelasku yang lulus mendapatkannya. Upacaranya berlokasi dia gedung yang biasanya menjadi ruang makan Akademi, sebuah ruangan yang mampu dengan mengagumkan diubah menjadi sesuatu yang semewah dan seluas ruangan yang pernah kami temukan di istana.

Para undangan – teman-teman, keluarga, dan para pengawal – memenuhi ruangan saat Alberta memanggil nama kami satu persatu dan membacakan nilai kami saat kami mendekati penato. Nilai ini sangat penting. Nilai ini diumumkan dan bersamaan dengan keselurahan peringkat kami, jumlah nilainya akan mempengaruhi penugasan kami selanjutnya. Moroi bisa meminta nilai khusus agar bisa menjadi pengawalnya. Lissa sudah memintaku, tentu saja, tapi meski dengan nilai terbaik di dunia sekalipun, nilai itu tidak akan bisa dibandingkan dengan semua nilai kelakuan buruk di dalam catatanku. 

Tidak ada Moroi dalam upacara ini, meskipun begitu ruangan ini dipenuhi oleh orang-orang yang diundang sebagai tamu oleh para lulusan baru. Kelompok lain yang berkumpul adalah para dhampir: baik yang sudah menjadi pengawal maupun yang akan menjadi pengawal seperti aku. 

Para tamu duduk di bagian belakang, dan para pengawal senior duduk di depan. Teman-teman sekelasku dan aku berdiri sepanjang acara, mungkin sebagai ujian terakhir dalam hal daya tahan.

Aku tidak keberatan. Aku sudah mengganti pakaianku yang sobek dan kotor menjadi pakaian kedur dan sebuah sweater, pakaian yang terlihat resmi saat masih merasakan perasaan khidmat. Pakaian ini cukup enak dikenakan karena udara di dalam ruangan dipenuhi ketegangan, semua ekspresiwajah merupakan campucaran dan kebahagian karena keberhasilan kami tap juga rasa khawatir tentang peran baru dan mematikan kami di dunia. Aku menonton dengan mata bersinar saat teman-temanku dipanggil naik, terkejut dan terkesan dengan beberapa nilai temanku.

Eddi Castile, seorang teman dekatku, mendapatkan sebuah nilai tingi khusu dalam perlindungan Moroi satu lawan satu. Aku tidak bisa menahan senyum saat melihat penato memberikan Eddie tatonya.
“Aku penasaran bagaimana ia menangani Moroinya di atas jembatan,” aku berbisik dengan nada rendaj. Eddie cukup cerdik biasanya. Disampingku, temanku yang lain, Meredith, menatapku bingung.

“Apa yang sedang kau bicarakan?” Suaranya juga sama rendahnya.
“Saat kita kejar di jemabatan dengan Moroi kita. Moroiku adalah Daniel.” Dia masih terlihat bingung, dan aku menambahkan. “Dan mereka menempatkan Strigoi di masing-masing sisinya?”

“Aku melintasi jembatan,” dia berbisik, “Tapi hanya aku sendiri yang dikejar. Aku menempatkan Moroiku melalu jalan memutar.”

Sebuah tatapan dari teman sekelas di dekat kami membuat kami diam, aku menyembunyikan ekspresi ketidaksukaanku. Munkin bukan aku satu-satunya yang kebingungan melewati ujian ini. Meredith mendapatkan kenyataan kalau ia mengacau dalam tesnya sendiri. 

Saat namaku dipanggil, aku mendengar beberapa suara decak kagum saat Alberta membacakan nilaiku. Aku mendapakan nilai tertinggi sejauh ini. Aku senang dia tidak menyebutkan nilai akademikku. Mereka pasti akan menarik kembali kekaguman di sisa penampilanku. Aku selalu menyelesaikan kelas bertarungku dengan baik, tapi matematika dan sejarah ... sebenarnya, kedua hal itu sangat memprihatinkan, khususnya sejak aku keluar masuk dari sekolah.

Rambutku digelung ketat, dengans etiap helainya dijepit sehingga penato tidak akan menemukan gangguan saat ia bekerja. I membungkukkan tubuhku dan memberinya pemandangan bagus dan mendengar sungutan keterkejutan. Leher belakangku telah ditutupi banyak sekali tanda, dia harus lebih cerdik menempatkan tanda baruku. Biasanya, pengawal baru memberikan kanvas kosong. Pria ini cukup pintar dan pada akhirnya menempatkan tandaku dengan hati-hati di tengah-tengah leherku. Tanda sumpah itu terlihat berbentuk huruf S yang memanjang dan renggang dengan bentuk ikal diujungnya. Dia menemppatkannya diantara tanda molinja, membiarkannya terlihat seperti dikelilingi seolah seperti depeluk. Proses tatonya menyakitkan, tapi aku tetap menjaga wajahku agar tetap tanpa ekspresi, tidak membiarkan wajahku mengerutkan dahi. Hasil akhirnya ditunjukkan padaku dari sebuah kaca sebelum dia menutupnya dengan perban sehingga luka tato ini bisa sembuh dengan bersih.

Setelah itu, aku bergabung kembali dengan teman-teman sekelasku dan menonton sisa dari mereka yang akan menerima tato. Ini artinya berdiri untuk dua jam lagi, tapi aku tidak keberataan. Otakku masih berputar mengingat semua yang terjadi hari ini. Aku telah menjadi pengawal. Pengawal yang akan membaw kebaikan yang tulus sungguhan. Dan bersamaan dengan pemikiran tentang itu munculah banyak pertanyaan, Apa yang akan terjadi sekarang? Akankah nilaiku cuku baik untuk menghapus catatan kelakuan burukku? Akankah aku menjadi pengawal Lissa? Dan bagaimana tentang Viktor? Bagaimana dengan Dimitri?

Perasaanku berubah menjadi ttidak nyaman saat efek penuh dari upacara pengawal ini menimpaku. Semua ini bukan hanya tentang Dimitri dan Viktor. Ini tentang aku – tentang sisa hidupku. Kehidupan sekolah telah berakhir. Aku tidak akan lagi memiliki guru yang mengikuti setiap gerakanku atau memperbaiki saat aku melakukan kesalahan. Semua keputusan akan bergantung pada diriku sendiri saat aku melindungi seseorang. Moroi dan dhampir yang lebih muda akan menganggapku memiliki kekuasaan. Dan aku tidak lagi mendapakan kemewahan dari latihan bertarung satu meit dan bersantai di kamarku setelah itu. Tidak ada lagi jeda istirahat saat kelas berlangsung. Aku akan bertugas sepanjang waktu.

Diterjemahkan langsung dari Novel Vampir Academy: Spirit Bound karya Richelle Mead oleh Noor Saadah. This is truly  fanmade and  no profit work.

You May Also Like

0 komentar