Shadow Kiss ~ Bahasa Indonesia (chapter 6)

by - 11:19 AM

AKU DISINI HANYA MEMBUTUHKAN TIGA orang saksi lainnya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di lapangan. Lagi-lagi, seperti yang sudah diduga, setiap orang terlihat sudah tahu apa yang telah terjadi ketika aku dipanggil tadi. Kelas sudah selesai, tapi banyak siswa berkeliaran di koridor, menunggu kelas selanjutnya, mengulang tes atau apapun. Mereka mencoba untuk menyembunyikan lirikan dan bisikan mereka, tapi mereka tidak melakukannya dengan baik. Mereka yang matanya bertabrakan dengan mataku memberikan senyum tipis atau segera memalingkan muka. Bagus sekali.

Tanpa koneksi fisik dengan Christian, aku tidak tahu dimana dia berada. Aku bisa merasakan keberadaan Lissa di perpustakaan dan merasa kalau ini merupakan tempat yang pas untuk mulai mencari. Dalam perjalanan pencarianku, aku mendengar suara seorang cowok memanggil di belakangku.






“Sepertinya sesuatu terjadi terlalu jauh, iyakan?” aku berpaling dan melihat Ryan dan Camille berjalan beberapa langkah di belakangku. Jika aku seorang laki-laki, respon yang tepat yang mungkin kukatakan, “Maksudmu dengan ibumu?” Karena aku bukan seorang cowok dan lagi pula aku punya tata sikap yang baik, aku hanya berkata , 

“Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan.”

Ryan cepat-cepat mengejarku. “Kau tau pasti apa yang sedang kubicarakann. Dengan Christian. Kudengar ketika Stan menyerang, kau seperti, ‘Ini, ambil saja dia’, dan berlalu pergi.”

“Oh baik Tuhan,” aku mengerang. Sudah cukup buruk ketika semua orang membicarakanmu, tapi kenapa cerita selalu diakhiri dengan akhir yang berubah? “Bukan itu yang terjadi.”

“Oh ya?” tanyanya. “Lalu kenapa kau dipanggil untuk menemui Alberta?”

“Dengar,” kataku, merasa tidak ingin bersikap baik lagi, “Aku hanya mengacau penyerangan itu ... kau tahu, seperti yang kau lakukan ketika kau tidak waspada di aula?”

“Hey,” katanya, wajahnya memerah seketika. “Aku berakhir dengan masuk ke dalam pertarungan itu – aku melakukan bagianku.”

“Itukah yang mereka sebut dengan terbunuh sekarang?”

“Paling tidak aku bukan jalang penakut yang menolak untuk bertarung.” Aku baru saja merasa tenang setelah berbicara dengan Dimitri, tapi sekarang emosiku sudah naik. Seperti termometer yang siap untuk meledak.

“Kau tahu, mungkin daripada kau mengkritik orang lain, sebaiknya kau harus lebih memperhatikan orang yang ditugaskan untuk kau jaga.” Aku mengangguk ke arah Camille. Sampai saai ini Camille terlihat tenang, tapi wajahnya menunjukkan dia sudah mengerti apa yang kumaksud.

Ryan mengangkat bahu. “Aku bisa melakukan dua-duanya. Shane lebih jauh di belakang kami dan area saat itu sudah bersih. Tidak ada pintu. Mudah.” Ia menepuk pundak Camille. “Dia selamat.”

“Itu adalah tempat yang mudah untuk diamankan. Kau tidak akan bisa melakukan itu dengan baik di dunia nyata dengan strigoi yang sebenarnya.” senyumnya menghilang. Kemarahan terpancar di kedua matanya. 

“Benar. Hal yang kudengar adalah kau tidak melakukan hal-hal yang baik juga disana, paling tidak, tidak sejauh yang dilakukan Mason.” Mengejek apa yang terjadi dengan Stan dan Christian adalah satu hal. Tapi menyatakan kalau akulah yang patut disalahkan atas kematian Mason? Tidak bisa diterima. Aku lah satu-satunya yang menyelamatkan Lissa selama dua tahun di dunia manusia. Akulah satu-satunya yang membunuh dua Strigoi di Spokane. Aku lah satu-satunya novis di sekolah yang memiliki tanda molinja, tato kecil yang diberikan kepada pengawal untuk menandai Strigoi yang telah mereka bunuh. aku tahu ada beberapa omongan tentang apa yang terjadi dengan Mason, tapi tak pernah kudengar satupun yang berhubungan denganku. Pikiran Ryan atau siapapun yang berpikir bahwa akulah yang patut disalahkan atas kematian Mason sudah berlebihan. Aku sudah cukup menyalahkan diriku sendiri sendirian tanpa bantuan mereka. Termometer sudah hancur. 

Dalam satu gerakan pelan, aku meraih Ryan, menangkap Camille dan memutarnya ke arah tembok. Aku tidak melemparnya terlalu keras untuk menyakitinya, tapi dia jelas kaget. Matanya melebar karena syok dan aku menggunakan lengan bawahku untuk menjepitnya, menekan ke arah tenggorokannya.

“Apa yang kau lakukan?” teriak Ryan, memandang balik dan meletakkan wajahnya diantara wajah kami berdua. Dengan mudah ku mengubah cara berdiriku, masih menjaga tekanan tanganku pada Camille.

“Tingkatkan ilmumu,” kataku senang. “Terkadang pengamanan suatu tempat tidak semudah seperti yang kau pikirkan.”

“Kau gila! Kau tidak bisa menyakiti Moroi. Jika pengawal mengetahui – “

“Aku tidak melakukan itu,” jawabku. Aku melirik ke arah Camille. “Apa aku menyakitimu? Apa kau merasakan sakit yang luar biasa?” Ada sebuah keragu-raguan lalu dia memberikan gelengan yang cukup dari kepalanya sebisa yang ia lakukan.

“Apa kau merasa tidak nyaman?” sebuah anggukan kecil.

“Lihat?” kataku pada Ryan. “Ketidaknyamanan tidak bisa disamakan dengan rasa sakit.”

“Kau tidak waras. Lepaskan dia.”

“Aku belum selesai, Ry. Perhatikan sebab inilah intinya: Bahaya bisa datang dari mana saja. Tidak hanya dari strigoi – atau pengawal yang berpura-pura seperti Strigoi. Tetaplah berpura-pura menjadi orang brengsek yang sombong yang seolah tahu segalanya” – aku menekan tanganku sedikit lebih keras, tetap tidak mengganggu pernafasannya atau merasakan sakit yang sebenarnya- “dan kau melewatkannya. Dan hal-hal tersebutlah yang bisa membunuh Moroimu.”

“Ok, ok. Apapun itu. Tolong, hentikan ini,” katanya. Suaranya bergetar. Tidak ada sikap lagi. “Kau menakutinya.”

“Aku juga akan merasa takut jika hidupku ada ditanganmu.” Aroma cengkih memperingatkanku akan kehadiran Adrian. Aku juga tahu kalau Shane dan beberapa orang yang lain datang untuk melihat. Novis yang lain melihat tidak yakin, seperti mereka ingin melawanku tapi takut menyakiti Camille. Aku tahu aku harus melepaskannya, tapi Ryan sudah membuatku sangat marah. Aku perlu membuktikan inti permasalahannya padanya. Aku perlu dia mengerti. Dan sungguh, aku tidak merasa bersalah terhadap Camille sejak aku tahu kalau dia juga ikut andil dalam menggosipkan aku juga.

“Menarik,” kata Adrian, suaranya semalas ia biasanya. “Tapi kurasa kau sudah menunjukkan tujuanmu.”

“Aku tak tahu,” kataku. Nada suaraku terdengar manis dan mengacam pada saat yang sama. “Aku masih belum yakin Ryan sudah mengerti.”

“Demi Tuhan, Rosa! Aku mengerti,” ratap Ryan. “Lepaskan dia.” Adrian bergerak disekitarku, pergi ke samping Camille. Camille dan aku terdorong bersama, tapi Adrian mengontrol dorongannya sehingga wajahnya bisa menatap lurus wajahku, hampir berada disamping Camille. Dia tersenyum bodoh seperti yang biasa ia lakukan, tapi ada sesuatu yang serius dalam mata hijau gelapnya.

“Ya, dhampir kecil. Lepaskan dia. Kau sudah selesai dengannya disini.” Aku ingin mengatakan pada Adrian untuk menyingkir dariku, bahwa aku lah satu-satunya yang akan mengatakan kalau ini sudah berakhir. Entah bagaimana, aku tidak bisa mengeluarkan kata-kataku. Sebagian dari diriku sangat marah dengan gangguannya. Bagian yang lain dari diriku berpikir kalau suaranya terdengar ... beralasan.

“Lepaskan dia,” ulangnya lagi. Mataku dipenuhi dengan Adrian sekarang, bukan lagi Camille. Tiba-tiba, seluruh bagian dari diriku memutuskan kalau perintahnya itu masuk akal. Sangat masuk akal. Aku perlu melepaskan Camille. Aku memindahkan tanganku dan menjauh. Dengan menelan ludah, Camille secepat kilat berlari ke belakang Ryan, menggunakannya seolah ia adalah tameng. 

Aku melihat sekarang kalau Camille sudah hampir menangis. Ryan terlihat hampir pingsan. Adrian menatap lurus dan membuat gerakan selesai ke arah Ryan. 

“Kau keluar dari sini – sebelum kau benar-benar membuat Rose kecewa.”

Ryan, Camille, dan bebarapa novis lain melangkah mundur pelan. Adrian melingkarkan tangannya padaku dan segera menarikku menuju perpustakaan. Aku merasa aneh, seperti aku baru saja bangun, tapi kemudian, dengan beberapa langkah, sesuatu menjadi jelas dan lebih jelas. Aku mendorong tangannya dari tubuhku dan menyentaknya menjauh.

“Kau baru saja menggunakan kompulsi padaku!” teriakku. “Kau membuatku melepaskannya.”

“Seseorang harus melakukannya. Kau terlihat seperti mau mencekiknya dalam beberapa detik terakhir.”

“Aku tidak melakukannya. Dan aku tidak akan melakukannya.” Aku mendorong pintu perpustakaan terbuka.

“Kau salah melakukan itu padaku. Tidak berhak sama sekali.” Kompulsi – membuat seseorang melakukan apa pun yang kau inginkan – adalah kemampuan semua vampir dengan kadar yang kecil. Menggunakannya berarti melanggar moral, dan hampir tidak bisa dikontrol untuk melakukan kerusakan yang sesungguhnya. Kemampuan kekuatan roh membuat baik Adrian dan Lissa sangat berbahaya.

“Dan kau tidak berhak menarik gadis lemah di aula hanya untuk menenangkan harga dirimu yang tersakiti.”

“Ryan tidak berhak untuk mengatakan hal-hal itu.”

“Aku bahkan tidak tahu apa maksud dari ‘hal-hal itu’, tapi kecuali aku sudah salah menilai berapa usiamu, kau terlalu tua untuk marah terhadap gosip kacangan itu.”

“Menjadi ma – “ kata-kataku terputus ketika aku sampai pada Lissa yang sedang mengerjakan sesuatu di meja. Wajah dan perasaannya mengatakan padaku masalah sedang datang. Eddie berdiri beberapa langkah darinya, bersandar di dinding dan memperhatikan ruangan. Matanya melebar ketika melihatku, tapi dia tidak mengatakan apapun tentang kedatanganku.

Aku menggesar kursi yang berhadapan dengan Lissa. “Hey.”

Dia menengadah dan mendesah, kemudian kembali memperhatikan buku bacaan terbuka di hadapannya.

“Aku berpikir kapan kau akan kembali,” katanya. “Apa kau mendapatkan hukuman?” kata-katanya tenang dan sopan, tapi aku bisa mengerti perasaannya. Kecewa. Bahkan sedikit marah.

“Jangan sekarang,” kataku. “Hanya terjebak dengan layanan komunitas.”
Dia tidak mengatakan apapun, tapi perasaan berang kurasakan melalui ikatan kami tidak berubah.

Sekarang aku mendesah. “OK, bicara padaku, Liss. Aku tau kau sedang marah.”

Adrian menatapku, kemudian Lissa, dan lalu padaku lagi. “ Aku merasa seperti kehilangan sesuatu disini.”

“Oh, bagus.” kataku. “Kau menghilang dan menganggu perkelahianku dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Perkelahian?” tanya Lissa, bingung bercampur dengan kemarahannya.

“Apa yang terjadi?” ulang Adrian.

Aku mengangguk pada Lissa. “ Teruskan, katakan padanya.”

“Rose mendapatkan tes dan menolak melindungi Christian.” Dia menggelengkan kepalanya, jengkel dan menatapku dengan lirikan menuduh. “Aku tidak percaya kau serius marah untuk melakukan hal ini padanya. Itu kekanak-kanakan.”

Lissa sudah mengambil kesimpulan seperti para pengawal lain. Aku mendesah. “aku tidak melakukannya dengan sengaja! Aku sudah duduk selama persidangan untuk membahas semua ini dan mengatakan hal yang sama dengan mereka.”

“Lalu apa yang terjadi?” dia menuntut. “Kenapa kau melakukannya?”
Aku ragu-ragu, tidak yakin dengan apa yang harus aku katakan. keenggananku berbicara adalah dengan adanya Adrian dan Eddie – aku yakin tidak ingin mereka tahu. Masalahnya menjadi lebih serius. Dimitri benar – ada orang-orang yang bisa aku percaya, dan tanpa sengaja mereka berdua adalah orang yang aku percaya: Dimitri dan Lissa. Aku sudah menahan diri untuk tidak mengatakan yang sebenarnya pada Dimitri. Bisakah aku melakukan hal yang sama pada Lissa? meskipun dia marah, aku tahu dengan pasti kalau Lissa selalu mendukungku dan selalu ada untukku. tapi sama seperti dengan Dimitri, aku menolak keras dengan ide menceritakan tentang hantu. Juga seperti dengan Dimitri, meninggalkan pilihan yang sama: gila atau tidak mampu?

Melalui ikatan kami, aku merasakan pikirannya, jernih dan bersih. Tidak ada noda, tidak ada kegelapan, atau tanda-tanda kemarahan – namun, sesuatu terasa menggelikan samar-samar. Sedikit mendebarkan. Anti depresi menghalangiku sepenuhnya untuk bisa keluar masuk ke dalam kepala Lissa, tapi sihirnya bangkit setelah satu hari. 

Aku memikirkan kembali pertemuanku dengan hantu, mengorek-ngorek kenangan menyedihkan, Mason yang tembus cahaya. Bagaimana mungkin aku bisa memulai menjalaskan hal itu padanya? Bagaimana mungkin aku bisa membawa sesuatu yang aneh dan fantastis ketika dia sedang mencoba dengan keras untuk menjadi sedikit lebih normal dalam kehidupannya dan sekarang menghadapi tantangan untuk bisa mengontrol sihirnya?

Tidak, aku sadar. Aku tidak bisa mengatakan hal itu padanya. Belum waktunya – khususnya ketika semua ini secara tiba-tiba terjadi padaku yang masih merupakan sesuatu yang besar untuk kuberitahukan padanya.

“Aku membeku,” kataku akhirnya. “Ini memang bodoh. Aku terlalu sombong tentang kemampuan menyingkirkan siapa pun, dan kemudian Stan ...” aku mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Aku hanya tak mampu bereaksi. Ini ... ini benar-benar memalukan.Dan dia dari semua orang.”

Lissa mempelajariku, mencari tanda-tanda ketidakjujuran. Menyakitkan berpikir kalau dia tidak mempercayaiku, kecuali ... well, aku memang berbohong sebenarnya. Seperti yang kukatakan pada Dimitri, pun, aku bisa menjadi pembohong yang hebat ketika aku menginginkannya. Lissa tak mampu mengelak.

“Kuharap aku bisa membaca pikiranmu,” ia merenung.

“Ayolah,” kataku. “Kau mengenalku. Kau benar-benar berpikir aku melakukannya? Menyerahkan Christian dan membuat diriku sendiri terlihat bodoh dengan sengaja agar dipanggil oleh para tentorku?”

“Tidak,” katanya akhirnya. “Kau mungkin melakukan cara lain ketika kau tidak tertangkap.”

“Dimitri mengatakan hal yang sama,” aku menggerutu. “Aku senang semua orang sangat setia padaku.”

“Tentu saja kami seperti itu,” katanya. “Itulah mengapa semua ini terlihat sangat aneh.”

“Meski aku melakukan kesalahan.” Aku memasang sikap kurang ajar, wajah yang terlalu percaya diri.

“Aku tahu ini sulit dipercaya – semacam kejutan untukku juga – tapi kurasa ini memang sudah seharusnya terjadi. Ini mungkin sejenis cara untuk menyeimbangkan jagat raya. Selain itu, tidak adil jika memiliki satu orang yang penuh dengan banyak kebisaan.”

Adrian, syukurlah sejak tadi diam, sedang mengamati pembicaraan kami, lebih mirip seperti melihat kami melakukan pertandingan tenis. Matanya menatap lembut tajam dan aku menduga dia sedang mempelajari aura kami.

Lissa memutar matanya, tapi untungnya, kemarahan yang kurasakan dalam dirinya sudah mereda. Dia mempercayaiku. Kebingungannya kemudian meninggalkan wajahku ke seseorang yang melewatiku. Aku merasakan kebahagian, emosi emas yang menandakan kehadiran Christian.

“Pengawal resmi pribadiku kembali,” dia mengumumkan, menarik sebuah kursi. Dia melirik Lissa. “Apa kau belum selesai?”

“Selesai apa?” tanyanya.

Dia menelengkan kepalanya ke arahku. “Memberikan waktu-waktu yang sulit mengenai bagaiamana dia melemparku ke dalam genggaman mematikan Alto.”

Wajah Lissa memerah. Dia sudah merasa sedikit buruk dengan bersikap agak kasar padaku, sekarang aku mempersiapkan pertahanan untuk diriku sendiri secukupnya. Mulit usil Christian, tahu kalau mengobservasi hanya membuat lissa semakin merasa bodoh.

“Kami hanya membicarakannya, hanya itu.” 

Adrian menguap dan membungkuk di kursinya.

“Sebenarnya, aku berpikir aku bisa mengerti ini semua. Ini hanya tindakan kenakalan, ya kan? Kenakalan untuk menakutiku sejak aku selalu membicarakanmu yang menjadi pengawalku. Kau pikir jika kau berpura-pura menjadi pengawal yang buruk aku tidak akan menginginkanmu. Well, itu tidak akan berkerja, jadi tidak ada lagi mencoba untuk membahayakan nyawa orang lain lagi.”

Aku bersyukur dia tidak membicarakan kejadian di aula. Ryan jelas saja sudah keterlaluan, tapi setelah waktu berlalu, ini menjadi semakin sulit dan sulit untukku percaya kalau aku telah melakukan gertakan itu. Itu seperti melihat sesuatu yang terjadi pada orang lain dan aku hanya menontonnya. Tentu saja, aku selalu terlihat suka mengertak sebelumnya. Aku awalnya menggila mengetahui kalau aku ditugaskan dengan Christian, marah karena tuduhan para pengawal, marah tentang – 
Oh benar. Itu mungkin waktu disaat diriku meleparkan bomnya.

“Jadi, um ... ada sesuatu yang kalian harus ketahui.” Empat pasang mata – bahkan mata Eddie – menatapku.

“Ada yang salah?” tanya Lissa. Ini bukan hal mudah untuk mengatakan kepada mereka, jadi aku hanya mendorongnya keluar.

“Sebenarnya, ini mengenai Victor Dashkov yang ternyata tidak pernah dibuktikan bersalah atas apa yang telah ia lakukan pada kita. Dia hanya dikurung. Tapi mereka akhirnya akan melaksanakan persidangan resmi – di minggu-minggu lain atau berikutnya.” Reaksi Lissa mendengar nama itu sama seperti reaksiku. Syok menembak melalui ikatan kami, diikuti oleh ketakutannya. Kilasan gambar-gambar silih berganti berputar dipikirannya.

Jalan permainan gila Viktor sudah membuatnya mempertanyakan kewarasannya sendiri. Siksaan anak buah Viktor sudah menyudutkannya juga. Masa berdarah yang ia temukan setelah Christian diserang anjing-anjingnya. Dia mengepalkan tangannya di atas meja, buku-buku jarinya memutih. Christian tidak bisa merasakan rekasi Lissa seperti bagaimana sekarang aku merasakannya, tapi dia tidak perlu hal itu. Dia melinggarkan tangannya di tubuh Lissa. Lissa hampir tidak menyadarinya.

“Tapi ... tapi ...” dia mengambil nafas dalam, terus menerus bernafas, bertarung agar tetap tenang. 

“Bagaimana mungkin dia belum dinyatakan bersalah? Semua orang tahu ... mereka semua melihat ...”

“Ini hukum. Mereka sepertinya harus memberikannya kesempatan untuk membela diri.”

Ada kebingungan menyelimuti dirinya, dan perlahan, dia mulai mersakan kesadaran yang sama seperti yang aku rasakan terhadap Dimitri malam itu. “Jadi ... tunggu ... apa kau baru saja mengatakan kalau ada kemungkinan dia dinyatakan tidak bersalah?”

Aku menatap matanya, mata yang ketakutan dan tidak mampu membiarkanku untuk mengatakannya. Sesungguhnya, wajahku sudah melakukannya.

Christian menghantamkan tinjunya ke meja. “Ini omong kosong.” Beberapa orang di meja lain melirik ledakan kemarahannya itu.

“Ini politik,” kata Adrian. “Orang-orang yang berkuasa tidak pernah bermain dengan aturan yang sama.”

“Tapi dia hampir membunuh Rose dan Christian!” tangis Lissa. “Dan dia sudah menculikku! Bagaimana bisa semua itu masih dipertanyakan?” Emosi Lissa memenuhi ruangan. Takut. Penderitaan. Kemarahan. Sakit hati. Kebingungan. Putus asa. Aku tidak ingin dirinya masuk ke dalam perasaan kelam dan harapan mati-matian yang sudah ia usahakan untuk ia kontrol selama ini. Perlahan, terus menerus, dia berhasil – tapi kemudian aku mulai membuatnya marah lagi. Ini seperti aku melakukan apa yang dilakukan Ryan.

“Itu hanya formalitas, aku yakin,” kata Adrian. “Ketika semua bukti sudah ada, kemungkinan itu terlalu mubajir untuk diperdebatkan.”

“Itu lah masalahnya,” aku berkata pahit. “Mereka tidak berencana untuk mendapatka semua buktinya. Kami dilarang pergi untuk membuktikannya.”

“Apa?” teriak Christian. “Lalu siapa yang memberikan kesaksian?”

“Pengawal lain yang ada disana saat kejadian. Kami sepertinya tidak dapat dipercaya untuk menjaga semuanya dalam kerahasiaan. Sang ratu tidak ingin dunia tahu kalau satu dari bangsawan berharganya mungkin telah melakukan sesuatu yang salah.”

Lissa tidak terlihat melawanku karena telah mencela keluarga bangsawan. “Tapi kami lah alasan mengapa dia disidang.”

Christian berdiri, melirik ke sekitar seolah Victor mungkin ada di perpustakaan. “Aku akan mengurus hal ini dari sekarang.”

“Tentu,” kata Adrian. “ Aku bertaruh dengan pergi masuk ke sana dan menendang pintu akan mengubah pikiran mereka. Bawa Rose bersamamu dan kalian akan membuat pengaruh yang benar-benar baik.”

“Ya?” tanya Christian, mencengkram erat belakang kursinya dan mempelajari Adrian dengan lirikan yang tajam. “Kau punya ide yang lebih bagus?”

Ketenagan Lissa mulai bergelombang lagi. “Jika Victor bebas, mungkinkah dia akan mengejar kita lagi?”

“Jika dia lepas lagi, dia tidak akan bertahan lama,” kataku. “Aku yang akan memastikan hal itu.”

“Hati-hati ucapanmu,” kata Adrian. Dia terlihat mendapatkan tontonan lucu dari semua ini. “Kau bahkan tidak mampu lepas dari pembunuh bayaran kerajaan.”

Aku baru saja ingin mengatakan kalau aku akan mempraktekan terlebih dulu padanya, tapi suara tajam Eddie menyela pikiranku.

"Rose." Naluri yang lahir dari latihan bertahun-tahun secara instan keluar begitu saja. Aku menengadah dan secara cepat melihat apa yang ia sadari. Emil baru saja masuk ke perpustakaan dan sedang memindai para novis, membuat catatan. Aku bangkit dari kursiku, mengambil posisi tidak jauh dari Eddie yang memberikan pandangan tepat ke Christian dan perpustakaan. Sial. Aku harus berpegangan, atau aku akan berakhir dengan pembuktian kalau Ryan benar. Diantara perkelahianku di aula dan sekarang tentang Victor, aku sudah megabaikan tugas sebagai pengawal. Aku bahkan tidak butuh Mason agar gagal dalam hal ini.

Emil tidak melihatku sedang duduk dan bersosialisasi. Dia berjalan, melirik ke arah kami, dan membuat beberapa catatan sebelum berbalik memindai sisa perpustakaan. Lega karena berhasil terselamatkan di detik-detik terakhir, aku mencoba keberuntungan untuk mengontrol diriku sendiri. Sangat sulit. Suasana hati yang kelam memerangkapku lagi dan mendengarkan Lissa dan Christian gusar mengenai persidangan Victor benar-benar tidak membantuku untuk tenang sama sekali. Aku ingin ikut bergabung dan memikirkannya juga. Aku ingin berteriak, berkata kasar, dan membagi rasa frustasiku sendiri.

Tapi sebagai pengawal, aku tidak berhak mendapatkan kemewahan itu. Tugas pertamaku adalah melindungi Moroi daripada menuruti kata hatiku sendiri. Lagi dan lagi, aku mengulang mantra seorang pengawal:
Mereka yang harus didahulukan.
Kata-kata itu mulai membuatku kesal.


Diterjemahkan langsung dari Novel Vampir Academy: Shadow Kiss karya Richelle Mead oleh Noor Saadah. This is truly  fanmade and  no profit work.

You May Also Like

0 komentar