Shadow Kiss ~ Bahasa Indonesia (chapter 7)

by - 4:16 PM

KETIKA PERINGATAN PERTAMA untuk jam tidur berbunyi, kaum Moroi merapikan barang-barang mereka. Adrian langsung pergi begitu saja, tapi Lissa dan Christian menikmati waktu mereka berjalan berdua kembali ke asrama. Mereka berpegangan tangan dan membiarkan kepala mereka saling berdekatan, membisikkan tentang sesuatu yang bisa ku “mata-matai” jika aku menghilang ke dalam kepala Lissa. Mereka masih marah mengenai kabar Victor.

Aku memberikan mereka waktu berdua dan tetap menjaga jarak, memimpin saat Eddie berjalan di sisi mereka. Sejak lebih banyak Moroi dari pada dhampir di sekolah, kaum Moroi memiliki dua asrama yang berdampingan. Lissa dan Christian tinggal di asrama yang berbeda. Mereka sama-sama berhenti ketika mereka sampai di luar gedung dimana bagian gedung tersebut menuju bagian yang terpisah. Mereka saling mengucapkan selamat tinggal dengan ciuman dan aku melakukan yang sebaik aku bisa untuk melihat sebagaimana seharusnya pengawal melihat – tanpa benar-benar – melihat sesuatu. Lissa mengucapkan selamat tinggal padaku dan mendahului pergi ke asramanya bersama Eddie. Aku mengikuti Christian ke asramanya.




Jika aku harus menjaga Adrian atau seseorang seperti dia, aku mungkin harus membuat ejekan tentang seks, bagaimana kami tidur bersama selama enam minggu ke depan. Tapi Christian memperlakukanku dengan sopan, bersikap seolah aku adalah saudara perempuannya. Dia sudah membersihkan lantai untukku dan sebelum dia selesai membersihkan giginya, aku sudah membuat tempat tidur yang nyaman dengan selimut disitu.


Dia mematikan lampu dan naik ke atas tempat tidurnya. Setelah beberapa saat, aku bertanya, “Christian?”

“Ini waktunya kita tidur, Rose.”

Aku menguap. “Percayalah, aku juga ingin tidur. Tapi aku punya satu pertanyaan.”

“Apa ini tentang Victor? Sebab aku ingin tidur dan hal itu hanya akan membuatku marah lagi.”

“Tidak, ini tentang sesuatu yang lain.”

“Baiklah, katakan.”

“Mengapa kau tidak membuat lelucon tentang apa yang terjadi dengan Stan? Semua orang mencoba menduga-duga kalau aku mengacau atau melakukannya dengan sengaja. Lissa juga memberiku masa-masa sulit. Adrian sedikit. Dan para penjaga ... baiklah, jangan pikirkan tentang mereka. Tapi kau tidak mengatakan apa pun. Aku kira kau lah yang pertama kali akan memberikan komentar pedas.”

Lebih banyak keheningan jatuh kala itu dan aku berharap dia sedang memikirkan jawabannya dan bukannya jatuh tertidur.

“Tidak ada gunanya memberikanmu waktu-waktu sulit,” katanya akhirnya. “Aku tahu kau tidak melakukannya dengan sengaja.”

“Mengapa tidak? Maksudku, bukannya aku menyangkalmu – sebab aku memang tidak melakukannya dengan sengaja – tapi bagaimana kau bisa yakin?”

“Sebab perbincangan kita di kelas ilmu memasak. Dan sebab bagaimana dirimu sebenarnya. Aku melihatmu di Spokane. Seseorang yang melakukan apa yang kau lakukan untuk menyelamatkan kami ... well, kau tidak mungkin melakukan sesuatu yang kekanak-kanakan seperti itu.”

“Wow. Trima kasih. Aku ... semua itu sangat berarti.” Christian mempercayaiku ketika tidak satu pun orang melakukannya.

“Kau orang pertama yang percaya aku hanya mengacau tanpa motivasi tersembunyi.”

“Sebenarnya,” katanya, “Aku juga tidak mempercayai hal itu juga.”

“Mempercayai apa? Bahwa aku mengacau? Mengapa tidak?”

“Apa kau tidak mendengarkan? Aku sudah melihatmu di Spokane. Seseorang sepertimu tidak akan mengacau atau membeku.” Aku mulai memberikannya gambaran yang sama seperti yang aku berikan pada para pengawal, bahwa meski telah membunuh Strigoi tidak membuatku menjadi tidak terlihat, tapi dia memotong penjelasanku: “Ditambah lagi, aku melihat wajahmu saat itu.”

“Saat ... di lapangan?”

“Ya.” Beberapa saat hening berlalu. “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi caramu menatap ... bukan terlihat seperti seseorang yang mencoba membalas seseorang. Bukan wajah yang kosong terkejut karena penyerangan Alto juga. Wajahmu menjukkan sesuatu yang berbeda ... aku tidak mengerti. Tapi tatapanmu tersita oleh sesuatu yang lain – dan sejujurnya? ekspresimu? Sejenis ketakutan.”

“Belum ... ternyata kau belum memberikan waktu-waktu sulit untukku juga.”

“Bukan urusanku. Jika alasan semua itu cukup besar untuk membuatmu berlaku seperti itu, berarti pastilah hal tersebut merupakan sesuatu yang serius. Tapi jika aku ingin jujur, aku merasa aman bersamamu, Rose. Aku tahu kau akan melindungiku, jika disana memang benar-benar ada Strigoi.” Dia menguap. “Ok. Sekarang aku ingin mengistirahatkan jiwaku, bisakah kita tidur? Mungkin kau tidak butuh tidur untuk kecantikan, tapi sebagian dari kita tidak seberuntung itu.”

Aku biarkan dia tidur dan segera jatuh pada kelelahanku sendiri. Aku sudah melalui hari yang panjang dan hanya mendapatkan sedikit waktu untuk beristirahat dari malam sebelumnya. Sekali aku tertidur lelap, aku mulai bermimpi. Seperti yang biasa terjadi, aku merasakan tanda-tanda dari mimpi yang sudah dimodifikasi Adrian.

“Oh tidak,” aku mengerang.

Aku berdiri dia sebuah taman di pertengahan musim panas. Udara terasa berat dan lembab dan matahari memukulky di bawah gelombang emas. Bunga-bunga dengan setiap warna bermekaran disekitarku, dan udara dipenuhi oleh aroma bunga lilac dan mawar. Lebah dan kupu-kupu menari dari satu bunga ke bunga yang lain. Aku mengenakan celana jeans dan tank top. Nazar ku, mata biru kecil yang terbuat dari kaca untuk menjauhkan dari roh jahat, tergantung di leherku. Aku juga mengenakan gelang manik-manik dengan salib, sebuah chotki, di pergelanganku. Itu adalah barang warisan dari keluarga Dragomir yang diberikan Lissa padaku. Aku jarang mengenakan perhiasan ketika aku bertugas, tapi selalu muncul dalam mimpi-mimpi seperti ini.

“Dimana kau?” aku memanggil. “Aku tahu kau disini.”

Adrian keluar dari balik pohon apel yang dipenuhi oleh bunga-bunga berwarna merah muda dan putih. Dia mengenakan jeans – sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnnya. Dia terlihat tampan dan tak diragukan mengenakan barang bermerek. Kaos hijau gelap – juga sangat sederhana – menutupi tubuh bagian atasnya, dan cahaya matahari menampakkan hightlights berwarna emas dan cokelat muda di rambutnya yang cokelat.

“Sudah kubilang jangan dekati mimpiku lagi,” kataku, berkacak pinggang.

Dia memberiku senyuman malas. “Tapi bagaimana lagi caranya kita bisa bicara? Kau tidak terlihat ramah akhir-akhir ini.”

“Mungkin jika kau tidak menggunakan kompulsi pada orang-orang, kau mungkin bisa memiliki banyak teman.”

“Aku harus menyelamatkan dirimu dari dirimu sendiri. Auramu saat itu seperti awan badai.”

“Ok, untuk sekali ini, bisakah kita tidak membicarakan aura dan kiamat yang akan terjadi?” 

Matanya menunjjukan kalau dia sudah benar-benar tertarik dengan hal tersebut, tapi dia membiarkannya dan tidak meneruskan pembicaraan itu. 
“Baiklah, kita bisa membicarakan tentang hal lain.”

“Tapi aku tidak ingin berbicara! Aku ingin tidur.”

“Kau sedang tidur.” Adrian tersenyum dan berjalan menjauh mempelajari bungan anggur yang berwarna jingga dan kuning yang berbentuk seperti terompet. Dia menyentuhkan jari-jarinya dengan lembut di sekeliling tepian bunga.

“Ini taman nenekku.”

“Bagus,” kataku, membuat diriku nyaman dengan bersandar di pohon apel. Sepertinya kami bisa berada disini untutuk beberapa saat. “Sekarang aku akan mendengarkan sejarah keluargamu.”
“Dia adalah wanita yang anggun.”

“Aku yakin memang seperti itu. Bisakah aku pergi sekarang?”
Matanya masih tertuju pada bunga anggur yang mekar. 

“Kau tidak seharusnya mengumpat pada sejarah keluarga Moroi. Kau tidak tahu apapun tentang ayahmu. Agar kau tahu saja, kita mungkin saja berkeluarga.”

“Apakah artinya kau akan menginggalkanku sendiri?” Dia memutar tubuhnya padaku dan megalihkan pokok pembicaraan seolah-olah aku tidak berbicara apa-apa.

“Ah, jangan kuatir. Kurasa kita berasal dari keluarga yang berbeda. Bukankah ayahmu orang Turki?”

“Ya, menurut ib – hey, apa kau sedang memelototi dadaku?”
Dia sedang mempelajariku, tapi matanya tidak lagi menatap wajahku. Aku menyilangkan tanganku di dada dan memelototinya.

“Aku menatap kaosmu,” katanya. “Warnanya salah.” Menjangkau, ia menyentuh tali tank top ku. Seperti tinta yang tumpah di kertas, kain itu berubah warna menjadi peris sama seperti warna bunga anggur. Dia menajamkan matanya seolah ia adalah seorang seniman yang sedang mempelajari hasil karyanya. 

“Bagaiman kau melakukannya?” aku berteriak.

“Ini mimpiki. Hmm. Kau bukan manusia yang cocok dengan warna biru. Sebenarnya, tidak cocok. Ayo coba yang ini.” Biru yang menyala berubah menjadi merah cerah.

“Ya. Ini dia. Merah adalah warnamu. Merah seperti mawar, manis, Rose yang manis.”

“Oh Tuhan,” kataku. “Aku tidak tahu kalau kau juga bisa dalam masa gila bahkan dalam mimpi.” Dia tidak pernah segelap dan sedepresi Lissa dulu, tapi roh pastinya membuatnya menjadi aneh kadang-kadang.

Dia melangkah mundur dan melempar tangannya. “Aku selalu gila disekitarmu, Rose. Aku bahkan membuat sebuah puisi dadakan untukmu.” Dia memiringkan kepalanya ke belakang dan berteriak ke langit:

“Mawar berwarna merah
dan tidak pernah menajdi biru
Tanjam seperti duri
Duri yang bberkelahi.”

Adrian menurunkan tangannya dan mendadak.
“Bagaimana mungkin duri berkelahi?” tanyaku.


Dia menggelengkan kepanya. “ Seni tidak perlu logika agar memiliki arti, dhampir kecil. Selain itu, aku sudah seharusnya gila, kan?”

“Tidak segila yang pernah kulihat.”

“Sebenarnya,” katanya, mondar-mandir untuk mempelajari beberapa bunga, “Aku akan terus seperti itu.”

“Aku hendak bertanya lagi kapan aku bisa “kembali” tidur, tapi pertukaran kami membawa sesuatu dalam pikiranku.

“Adrian ... bagaimana kau bisa tahu kalau kau gila atau tidak?” Dia berbalik dari bunga, sebuah senyuman di wajahnya. Aku bisa bilang dia seperti akan membuat sebuah lelucon, tapi kemudian dia menatap tajam ke arahku. Senyumnya memudar, dan dia berubah menjadi serius yang tidak biasa.

“Apa kau berpikir kalau kau gila?” tanyanya.

“Aku tidak tahu,” kataku, menatap ke tanah. Kakinya telanjang dan bilah rumput mengeletik kakiku. “Aku sudah ... melihat sesuatu.”

“Orang yang gila sangat jarang mempertanyakan apakah dia gila,” katanya bijaksana.

Aku mendesah dan menatapnya balik. “Perkataan itu tidak benar-benar menolongku.”

Dia berjalan ke arahku dan meletakkan tangnnya di bahuku. “Aku tidak berpikir kau gila, Rose. Kurasa kau sudah melewati terlalu banyak hal.”

Aku merengut. “Apa artinya itu?”

“Artinya menurutku kau tidak gila.”

“Trims. Itu berarti. Kau tahu, mimpi ini benar-beanar mulai mengkontaminasiku.”

“Lissa tidak merasa terganggu,” katanya.

“Kau mendatanginya juga? Apa kau serius tidak memiliki ikatan?”

“Ah, dia hanya butuh instruksi. Dia ingin belajar bagaimana caranya melakukan ini.”

“Bagus. Jadi aku hanyalah salah satu yang beruntung yang mendapatkan gangguan seksualitas mu.”

Dia terlihat tersakiti. “Aku berharap kau tidak bertingkah seolah aku adalah reinkarnasi iblis.”

“Maaf. Aku hanya tidak memiliki alasan kalau kau bisa melakukan hal yang berguna.”

“Benar. Sebagai kebalikan dari pelatih perampok-buaian mu. Aku tidak benar-benar melihat kalau kau punya kemajuan dengannya.”

Aku mengambil langkah ke belakang dan menatap matanya lekat-lekat. “Jauhi Dimitri dari hal seperti ini.”

“Baiklah asal kau berhenti bertingkah seolah dia yang paling sempurna. Bantah saja kalau aku salah, tapi dia satu dari orang-orang yang menyembunyikan persidangan itu darimu, benarkan?”

Aku membuang muka. “Itu tidak penting sekarang. Lagipula, dia punya alasannya sendiri.”

“Ya, yang berarti termasuk tidak terbuka padamu atau memperjuangkamu agar kau berada di persidangan itu. Jika itu aku ... “ Dia mengangkat bahu. “Aku bisa memasukkanmu ke dalam persidangan itu.”

“Kau?” aku bertanya dengan tertawa kejam. “ Bagaimana caranya kau bisa melakukan hal itu? Bisakah asap rokokmu membutakan mata hakim? Menggunkan kompulsi kepada ratu dan separuh dari keluarga bangsawan di persidangan?”

“Kau tidak seharusnya secepat itu meremehkan seseorang yang bisa menolongmu. Sabarlah sedikit.” Dia memberikan ciuman ringan di dahiku yang kucoba hindari. 

“Tapi untuk sekarang, pergilah istirahat.”
Taman itu mengabur dan aku kembali kekegelapan tidurku.

Diterjemahkan langsung dari Novel Vampir Academy: Shadow Kiss karya Richelle Mead oleh Noor Saadah. This is truly  fanmade and  no profit work.

You May Also Like

2 komentar

  1. Lanjutanya belum ditranslate ya. Aku penasaran lanjutanya Ơ̴̴͡.̮Ơ̴̴͡‎​

    ReplyDelete
  2. Udah,,,,selamat membaca yaaa...hehehe

    ReplyDelete