Cerpen: So Sorry...

by - 12:44 AM



Oleh Noor Saadah

Aku menatap layar handphone-ku cukup lama, mungkin beberapa menit telah lewat. Hatiku terasa cukup hampa. Namun ini keputusanku karena aku ingin bahagia. Layar handphone-ku masih bererjap-kerjap, pertanda sudah beberapa kali sms masuk dan belum kubaca. Aku bukannya tidak ingin membalas pesan tersebut, hanya saja aku sudah tahu apa isinya. Akhirnya, setelah menghela napas panjang, dengan rasa lelah yang teramat sangat, aku membuka pesan singkat itu satu demi satu. Meski sebenarnya bisa dibilang ini bukanlah pesan singkat, terlihat dari karakternya yang sudah kelebihan batas minimal aturan sms, dan dikirim sebanyak tiga kali.

Dengan cepat kubaca sms itu, aku sudah cukup terbiasa dengan gaya sms-nya, jadi tak perlu kumasukkan kehati apa saja kata-katanya. Cukup intinya saja. Bahwa dia meminta ketegasanku. Aku sedikit geli dengan pertanyaannya, sudah jelas sekali sikapku padanya, masa sih dia tidak mengerti juga. Apa harus diucapkan dengan kata-kata? Sudah besar juga. Sudah sarjana juga. Masa tidak mengerti, bahwa menghilangnya aku selama beberapa hari, bahwa kealpaanku menelpon atau meng-smsnya, bahwa tidak adanya hidungku muncul dihadapannya, adalah karena aku sudah tidak ingin lagi bersamanya. Anak kecil pun akan segera paham dengan tanda-tanda yang kuberikan, dia yang katanya pintar itu, tidak?

From: 0852 48xx xxxx
Jangan perlakukan aku seperti ank SMA. Dgn menghilang n sama sekali td mmberi kbr. Beri aku kejelasan. Paling tdk begitu caramu menghargai aku yg sdh hampir 5 thn setia mendmpingi kmu.

Ah, sudah lima tahun, ya? Aku bahkan tidak menghitungnya lagi semenjak aku merasa tak lagi cocok dengannya. Padahal sudah sejak lama aku tak lagi ada rasa, namun rasa manusiawiku menghalangiku untuk segera meninggalkannya. Terkadang aku kasian. Terkadang aku sayang. Dan terkadang aku membutuhkannya, untuk mengerjakan tugas-tugasku, untuk mengantarkan paketku, untuk menemaniku jalan saat aku lagi nggak ada kegiatan. 

Tapi sejujur-jujurnya dan sesungguh-sungguhnya, aku sudah teramat bosan dengan rutinitas kami berdua. Terlebih setelah dia mulai sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak bisa begini, dia tidak bisa kesini. Jadi sulit untuk bertemu. Dan aku pun menemukan duniaku, dengan teman-teman baru yang memiliki langkah yang sama, yang seirama. Tempat dimana aku bisa menyatukan eksistensiku yang selama ini terserak, berarak. 

Pernah suatu kali saat aku tengah nongkrong dengan sahabat-sahabatku saat malam tahun baru, aku harus mematikan bunyi ringtone handphone-ku, karena terus berdering. Dia bak polwan, selalu ingin tahu aku ada dimana, aku dengan siapa, aku sedang apa. Loh apa urusannya, toh dia bukan istriku, bukan siapa-siapaku, cuma ‘pacar’ kala itu. Apalagi, kebetulan saat itu Dani temanku sedang mengenalkkanku kepada adik dari sepupunya temannya, Nia. Mahasiswi baru berambut halus seperti iklan shampo. Untungnya mereka percaya-percaya saja kalau aku tengah sendiri dari status yang kugadang-gadang di jejaring sosial pribadiku. Memang ada nilai positifnya aku jarang jalan dengannya, dengan begitu orang mengira aku sedang tak punya pacar. 

Nia pun langsung menyambut senyum tulusku. Gadis mana sih yang tak mau denganku? Tampan, gagah, keren, pintar, punya motor gede pula. Dari anak SMA sampai dosen pun kalap mata, kalap hati kalau melihatku berjalan sendiri. Bahkan kata temanku, ini serius kata temanku lho, aku ini mirip artis pendatang baru. Tampang baik-baik, cocok jadi pemeran protagonis. Sekali tersenyum, dapat saja pin BB dua tiga gadis. Cara berpikir wanita zaman sekarang memang praktis. Sepertinya aku harus berterimakasih pada sinetron-sinetron dan drama-drama Korea yang telah mereka tonton. Semacam membentuk kepribadian yang homogen pada setiap gadis belia dan wanita di usia mereka yang masih ayu-ayunya. Mempermudahku untuk menjadi pangeran impian mereka. 

Sayangnya si Nia tak bertahan lama. Suka merengek dan merajuk. Ah, membuatku kesal saja. Menghilangkan debaran-debaran, rasa rindu, dan lagu romantis dalam kepalaku. Tak tahu apa kalau aku banyak yang diurus. Ngurusin Ika, Rini, Putri, Ayu, plus si dia. Tapi lagi-lagi untungnya, aku tidak pernah ‘jadian’ dengan mereka. Hanya teman dekat, teman buat diajak nongkrong, teman diajak makan, teman diajak nonton, teman diajak curhat. Jadi tak salah dong kalau kubilang aku ini masih sendiri, yah selain dia. Tapi dia pun sebenarnya bukan pacarku kan? Kisah romantis kami itu sudah berakhir dari lama dan hanya tersisa rasa perlu saja. Dia kadang perlu aku. Aku kadang perlu dia. Nah, berarti kami ini bukan pacaran, hanya keperluan semata. 

Makanya setelah menelan banyak referensi, dari novel, film, curhatan di twitter, hingga saran dari si anonim, aku memutuskan cara terbaikku untuk lepas dari hubungan keperluan ini adalah dengan menghilang sedikit demi sedikit dari hidupnya, menghilangkannya sedikit demi sedikit dari hidupku. Itu akan membuatnya terbiasa, membuatku juga terbiasa. Membuatnya tak merasa begitu sakit sehingga dia tak perlu mengeluarkan aura psikopat seperti yang ada di film-film pembunuhan di bioskop. Membuatku tidak begitu merasa bersalah untuk mengatakan dengan jelas kalau aku tidak lagi tertarik padanya. Yah, sudah cukuplah waktu yang selama ini kuberikan padanya, meskipun memang tak semuanya untuknya, Sudah cukuplah aku bertahan dan mengorbankan perasaanku untuk tetap bersamanya, padahal jelas aku menginginkan yang lain. Aku sudah cukup lelah dan sakit. Makanya, disinilah saatnya untuk berhenti dan mengambil jalan dan menuju ke arah yang lain. So sorry… 

To: 0852 48xx xxxx
Maaf, mungkin ini memang jalannya utk kita berjalan sendiri2. Kita sudah mencoba bertahan tapi tidak bisa. Mungkin memang sebaiknya kita jalan masing2. Insyallah, kalau memang jodoh tidak kemana.

Lima menit dua puluh tiga detik kemudian…

From: 0852 48xx xxxx 
Terima kasih sudah bersamaku selama hampir 5 thn ini. Aku berdoa semoga kmu bahagia. Dan semoga kamu mendapatkan yg kamu inginkan. Amin.

 Aku melongo beberapa saat membaca balasan sms-nya. Tumben dia menerimanya dengan ikhlas. Ada apa ya? Apa jangan-jangan dia sudah punya lelaki baru? Apa jangan-jangan telah habis cintanya padaku? Atau ini hanyalah akting semata sebelum dia kembali membombardirku dengan sms dan lusinan telepon? 

To: 0852 48xx xxx 
:(

### 

Ada setumpuk kerjaan di rak tiga papan di sudut kamarku. Melihatnya saja sudah membuat mataku kesemutan, apalagi kalau harus menyentuhnya. Tapi harus selesai minggu ini, harus dibuat laporannya. Kalau minta tolong teman, pastinya minta traktir. Kalau minta tolong gebetan baru, tak enak lah. Dia pun sedang banyak tugas. Maklum mahasiswi baru jurusan bahasa inggris. Tiap hari kerjaannya komat-kamit nyanyi lagu bahasa Inggris. Katanya biar cepat hapal, soalnya mau jalan-jalan ke Singapore buat study tour bulan depan. Orang kaya. 

Aku menghela nafas panjang. Sambil memutar-mutar handphone-ku yang tidak berbunyi dari magrib tadi. Kicauan si gebetan sudah dikicau ulang. Sms adik angkatan sudah di balas sejak tadi siang. Apa lagi yang harus aku lakukan? Sudah jam sebelas malam. Main game, malas. Main futsal, libur. Karena ada istri teman yang sedang melahirkan. Nonton film, nggak ada yang baru. Bosan. 

Tanganku otomatis memencet-mencet layar touchscreen, yang sebenarnya memang bergerak berdasarkan perintah otak kanan. Secara sadar sejujurnya, aku membuka-buka akun si dia. Apa kabar ya dia sekarang? Biasanya, mantan-mantanku tak pernah tahan untuk tidak lagi kembali meng-smsku dalam waktu seminggu, terhitung dari tanggal putus. Paling tidak untuk bilang “met pagi” atau “apa kabar”. Jangankan yang baru satu minggu putus, mantan-mantanku yang lama masih kerap kali meng-smsku. Kadang bilang “jangan lupa makan”, kadang bilang “jangan lupa sholat”. Ah, padahal mereka pastinya pengen bilang “jangan lupain aku”. Yang satu ini nihil, masih dendam mungkin. 

Status dia masih single. Tulisan di akunnya tidak terlalu banyak. Malah kebanyakan iklan. Membosankan. Dia lebih sering upload foto. Foto dengan si ini, foto di tempat baru, pamer gigi. Mungkin pamer kebahagiaan. Jari-jariku lagi-lagi bergerak tanpa sadar, yang sebenarnya memang diperintah oleh si otak kanan lewat izinku. Kemudian aku menunggu, dan menunggu. Tidak terjadi apa-apa

To: 0852 48xx xxxx
Nite.

No new message.

The End

Cerpen ini telah terbit di Media Kalimantan
Oleh Noor Saadah

You May Also Like

0 komentar