Spirit Bound ~ Bahasa Indonesia (Chapter 8) part 1

by - 5:13 PM



SETELAH GERUTUAN YANG SUDAH KUUCAPKAN TERHADAP ABE tentang bagaimana ia selalu pergi ke tempat terpencil dan berkualitas rendahan, aku seharusnya bergembira dengan kemungkinan akan pergi ke Sin City (kota dosa). Sayang, aku sudah membuat beberapa reservasi untuk perjalanan hebatku berikutnya. Pertama, suatu tempat seperti Las Vegas adalah tempat terakhir yang aku pikirkan untuk seseorang setengah gila dan suka menyendiri berada. Dari potongan-potongan yang aku dengar, Robert telah mematikan radar pengintaian dan ingin hidup sendirian. Sebuah kota sibuk yang dipenuhi oleh turis benar-benar terasa tidak cocok untuk deskripsi iitu. Kedua, kota seperti itu merupakan ladang sempurna untuk para Strigoi berburu. Padat, ugal-ugalan, pengawalan yang rendah. Sangat mudah untuk orang-orang menghilang – khususnya saat kebanyakan dari mereka keluar saat malam hari.

Sebagian dari diriku yakin bahwa hal ini adalah bagian dari akal-akalan Victor, tapi ia bersumpah bahwa hal itu benar. Jadi, tanpa adanya tujuan lain, Las Vegas menjadi tujuan kami berikutnya. Bagaimanapun dengan menyadari kalau para penjaga akan mencari kami di Fairbanks, kami tidak punya cukup banyak waktu untuk mendebatkan masalah ini. Jimat Lissa memang cukup menyamarkan penampilan kami sehingga mereka tidak akan mencari orang dengan deskripsi seperti kami yang sebenarnya. Namun, mereka sudah mengenali bagaimana penampilan Victor, sehingga semakin cepat kami keluar dari Alaska, maka akan semakin baik.

Sayangnya, kami memiliki sedikit masalah.
“Victor tidak punya kartu identitas,” kata Eddie. “Kita tidak bisa membawanya dengan pesawat.” Itu benar. Semua yang dimiliki Victor sudah disita oleh pihak penjaga yang berwenang, dan di tengah-tengah proses mematikan pengawasan dan membuat setengah penjaga keluar, sulit untuk kami memiliki waktu untuk mencari barang-barang pribadinya. Kompulsi Lissa memang fenomenal, namun dia sudah kelelahan setelah begitu banyak menggunakannya di penjara. Selain itu, para penjaga akan mengawasi bandara.

‘Teman’ kami Bud si pemilik rental mobil memberikan solusinya. Dia tidak merasa cemas melihat mobilnya kembali dengan semua goresan yang berasal dari gaya berani matinya Eddie saat menyetir. Uang yang cukup bisa menghentikan gerutuan manusia tentang ‘menyewakan mobil untuk segerombolan anak kecil’. 

Victor lah yang memiliki rencana alternatif dan menyarankannya pada Bud.
“Apakah ada bandara pribadi di dekat sini? Dengan penerbangan yang bisa kami sewa?”
“Tentu ada,” kata Bud. “Tapi itu pastinya tidak murah.”
“Itu bukan masalah,” jawabku.

Bud menatap kami dengan tatapan curiga. “Apa kalian telah merampok bank atau semacamnya?”

Tidak, tapi kami banyak mengepak uang. Lissa mendapatkan dana  perwalian yang diberikan kepadanya sebagai uang bulanan hingga dia berusia 18 tahun, beserta kartu kredit dengan limit yang tinggi. Aku juga memiliki sebuah kartu kredit, sisa-sisa dari saat dimana aku merayu Adrian untuk membiayai perjalanan ke Rusia. Aku mengembalikan sisanya, seperti rekening bank dengan jumlah uang yang besar yang sudah ia buatkan untukku. Tapi salah atau tidak, aku memutuskan untuk menyimpan satu dari kartu-kartu itu, hanya jaga-jaga untuk keadaan darurat.

Ini jelas sekali sebuah keadaan darurat, jadi kami menggunakan kartu itu untuk membayar biaya pesawat pribadi. Sang pilot tidak bisa membawa kami pergi sejauh hingga ke Las Vegas, tapi dia bisa membawa kami hingga ke Seattle, dimana ia bisa menghubungkan kami dengan pilot yang lain yang ia kenal yang bisa mengantar ke sisa perjalanan kami. Lebih banyak uang yang diperlukan.

“Dan Seattle lagi,” aku merenung, beberapa saat setelah pesawat lepas landas. Interior jet kecil ini memiliki empat tempat duduk, dua kursi berdampingan menghadap dua kursi yang lain. Aku duduk di samping Victor dan Eddie duduk di seberangnya. Kami menimbang-nimbang kalau itu adalah susunan keamanaan terbaik.

“Memangnya ada apa di Seattle?” tanya Eddie, bingung.
“Tidak apa-apa.”

Jet pribadi kecil itu tidak bisa menyamai kecepatan pesawat komersial biasa yang besar dan perjalanan kami mengambil banyak waktu dari hari ini. Selama perjalanan, aku terus menanyai Victor tentang peran saudaranya di Las Vegas dan akhirnya mendapatkan jawaban yang aku butuhkan. Victor akhirnya harus menyampaikan pada kami, tapi kurasa dia mengeluarkan bagian sensasi sadis untuk memperpanjang jawaban.

“Robert tidak tinggal selayaknya di Las Vegas,” dia menjelaskan. “Dia memiliki sebuah rumah kecil – sebuah pondok, menurutku – di ngarai Red Rock, bermil-mil jauhnya dari kota.”

Ah, sekarang apa yang ia jelaskan ini  lebih cocok dengan apa yang aku pikirkan sebelumnya. Lissa membeku saat dimana kata pondok disebut-sebut, dan aku bisa merasakan ketidaknyamanan dirinya melalui ikatan kami. Saat Victor menculiknya, Victor membawa Lissa ke sebuah pondok di hutan dan menyiksanya disana. Aku memberinya tatapan menenangkan semampuku. Sudah sering kali hal ini terjadi dan aku berharap kalau ikatan kami bisa berjalan dua arah supaya aku bisa benar-benar menghiburnya.

“Jadi kita akan kesana?”
Victor mendengus. “Tentu saja tidak. Robert menjaga privasinya dengan berlebihan. Dia tidak akan membiarkan orang asing mendatangi rumahnya. Tapi dia akan datang ke kota jika aku memintanya.”

Lissa menatapku. Victor bisa saja membuat jebakan. Dia punya banyak sekali pendukung. Sekarang dia sudah bebas, dia bisa jadi memanggil mereka dan bukannya Robert untuk menemui kita.

Aku mengangguk kecil padanya, lagi-lagi berharap kalau aku bisa merespon balik melalui ikatan kami. Aku juga berpikir begitu. Keharusan bagi kami untuk tidak pernah meninggalkan Victor sendirian untuk membuat panggilan tanpa pengawasan. Dan sebenarnya, rencana untuk bertemu di Las Vegas ini sendiri membuatku merasa lebih baik bertemu di dalam kota daripada di luar sana di tengah-tengah antah berantah. Untuk keamanaan kami sendiri dari kaki tangan Victor.

“Mengingat aku begitu sangat membantu,” kata Victor, “Aku punya hak untuk tahu apa yang kalian inginkan dari saudaraku.” Dia melirik ke arah Lissa. “Mencari pelajaran pengendalian roh? Kalian pastinya sudah melakukan pekerjaan investigasi yang luar biasa untuk mengetahui tentang dirinya.”

“Kau tidak punya hak untuk mengetahui rencana kami,” aku membalasnya dengan tajam. “Dan apa kau bercanda? Jika kau terus-terusan mencari tahu siapa yang paling berjasa disini, kami lah yang jelas sekali telah mengalahkan kartumu. Kau mendapatkan kesempatan untuk pergi mengejar ketertinggalamu setelah apa yang kami lakukan di Tarasov.”

Respon Victor hanyalah sebuah senyuman kecil.

Sebagian waktu penerbangan kami dilakukan pada malam hari, yang berarti kami akan mendarat di Las Vegas pagi-pagi buta. Pengamanan terhadap sinar matahari. Aku terkejut saat melihat betapa padatnya bandara. Bandara pribadi di Seattle cukup banyak dipenuhi pesawat, tapi di bandara Fairbanks hampir mendekati gurun pasir. Garis-garis putih lapangan dipenuhi oleh pesawat jet kecil, kebanyakan dari benda-benda itu meneriakkan ‘kemewahan’. Aku harusnya tidak sebegitu terkejut. Las Vegas adalah taman bermain untuk para selebritis dan orang-orang kaya yang lain, orang-orang yang kebanyakan mungkin tidak bisa menurunkan derajat mereka untuk terbang dengan pesawat komersil bersama para penumpang  yang biasa-biasa saja.

Ada taksi disini, menawarkan kami untuk menghindari kesepakatan mengerikan dengan penyewaan mobil lagi. Tapi saat si sopir taksi bertanya kemana tujuan kami, kami semua terdiam. Aku berbalik ke arah Victor.

“Di tengah kota, kan? The Strip?”
“Ya,” dia setuju. Dia yakin kalau Robert mau bertemu orang asing di tempat paling umum entah dimana.  Tempat dimanapun ia bisa dengan mudah menghilang.

“The Strip itu luas,” kata si sopir. “Apa kau punya tempat khusus atau aku hanya harus menurunkan kalian di tengah-tengah jalan?”
Keheningan menyergap kami lagi. Lissa menembakkan pandangan berarti padaku.

“The Witching Hour?” aku memikirkannya. Las Vegas adalah sebuah tempat favorit kaum Moroi. Sinar matahari yang cerah membuat kurangnya kemunculan Strigoi,  dan kasino tanpa kaca menciptakan atmosfir gelap dan nyaman.  Setahu yang pernah kami dengar, The Witching Hour adalah sebuah hotel dan kasino, yang memiliki banyak pelanggan manusia dan sebenarnya dimiliki oleh Moroi, jadi tempat ini memiliki banyak fitur melarikan diri sebagai pintu gerbang yang bagus untuk para Vampire. Pendonor di ruangan belakang. Kamar santai khusus Moroi. Para pengawal yang banyak berpatroli. Pengawal ...

Aku menggelengkan kepala dan melirik ke Victor. “Kita tidak bisa membawanya kesana.” Dari semua hotel yang ada di Las Vegas, Witching Hour adalah tempat terakhir yang akan kami kunjungi.

Pelarian Victor sudah menjadi berita di seluruh dunia Moroi. Membawanya ke  tempat dimana pusat para Moroi berkumpul di Las Vegas dan para pengawal mungkin menjadi hal terburuk yang bisa kami hadapi saat ini. Dari kaca mobil, wajah sopir terlihat sudah tidak sabar. Dan Eddie lah yang akhirnya bersuara. “The Luxor.”

"Diterjemahkan langsung dari novel Vampire Academy Spirit Bound karya Richelle Mead oleh Noor Saadah. This is truly fanmade and no profit work."

You May Also Like

2 komentar

  1. Kapan di lanjut nih?? Udah 2 bulanan lho?? Hehe :) di tunggu secepatnya yaaahhh???? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Anonim,

      Sudah ya ^_^ , mohon maaf atas delay-nya, karena lagi banyak kerjaan. Hehehe.
      Terima kasih.

      Delete