Blood Promise ~ Bahasa Indonesia (Chapter 1)

by - 10:48 AM

AKU SEDANG DIIKUTI.
Sangat ironis, mengingat aku telah mengikuti yang lain selama beberapa minggu terakhir. Paling tidak ini bukan Strigoi. Aku sudah mengetahuinya. Efek terbaru menjadi seseorang yang dicium-bayangan adalah kemampuan untuk merasakan mereka yang belum sepenuhnya mati – sayangnya selalu diiringi rasa mual. Aku masih menghargai sistem peringatan pertama dari tubuhku itu dan aku sudah mengurangi perkiraankku mengenai penguntit yang membuntutiku malam ini bukanlah seorang yang begitu cepat, bukanlah vampir gila yang ganas. Aku sudah cukup berdebat dengan diriku sendiri tentang semua hal ini dan keinginan untuk beristirahat malam ini.

Aku menduga penguntitku adalah seorang dhampir seperti aku, mungkin satu dari orang di klub. Kuakui, orang ini bergerak tidak terlalu tersembunyi seperti yang aku harapkan dari seorang dhampir. Jejak langkah terdengar jelas menapaki jalan aspal dari sisi jalan yang gelap dimana aku tengah berjalan, dan aku menangkap kilasan singkat sebuah sosok bayangan. Masih mempertimbangkan aksi gegabahku malam ini, seorang dhampir yang paling banyak melakukan kejahatan.

Semua ini berawal di Nightingale. Itu bukanlah nama sebenarnya dari klub tersebut, hanya sebuah terjemahan. Nama sebenarnya berasal dari bahasa Rusia yang penyebutannya berada jauh dari kemampuanku untuk mengucapkannya. Kembali ke Amerika, Nightingale terkenal diantar kaum Moroi kaya yang berkeliling dunia, dan sekarang aku bisa mengerti kenapa. Tidak peduli jam berapa di setiap harinya, orang-orang berpakaian seolah mereka ingin ke pesta dansa kerajaan. Dan, seluruh tempat tersebut sebenarnya terlihat seperti berasal masa lampau, hari kerajaan dari Rusia, dengan dinding-dinding berwarna gading yang ditutupi oleh perkamen kerja dan papan hias tembok berwarna emas. Semua ini mengingatkanku pada Istana Musim Dingin, kediaman kerajaan yang berasal dari zaman ketika Rusia masih diperintah oleh raja. Aku mempelajarinya sejak datang di Saint Petersburg.

Di Nightingale, tempat lilin yang rumit dipenuhi oleh lilin-lilin sungguhan bergemerlapan di udara, menerangi seluruh desain ruangan bernuansa emas, sehingga meskipun cahaya begitu suram, seluruh ruangan berkilauan. Ada sebuah ruang makan besar yang dipenuhi oleh meja dan meja pojok yang tertutup tirai beludru, sebaik tempat bar dan kursi panjang dimana orang-orang bisa bergaul. Saat tengah malam, sebuah band dipersiapkan disana, dan para pasangan bisa menari di lantai dansa.

Aku tidak terlalu peduli dengan Nightingale ketika aku baru tiba di kota beberapa minggu yang lalu. Aku menjadi cukup sok tahu dengan berpikir kalau aku bisa menemukan langsung seorang Moroi yang bisa menunjukkanku dimana kampung halaman Dimitri di Siberia. Dengan ketidakpunyaan petunjuk apapun mengenai keberadaan Dimitri yang menghilang di Siberia, menuju kota tempat dimana dia tumbuh adalah kesempatan terbaikku untuk bisa semakin dekat dengannya. Hanya saja aku tidak tahu dimana tempatnya, yang mengapa membuatku mencoba menemukan Moroi untuk membantuku. Ada banyak kota dan komunitas yang dipenuhi kaum dhampir di Rusia tapi sangat susah ditemukan di Siberia, yang membuatku percaya kalau lebih banyak Moroi lokal yang mungkin mengenal tempat kelahirannya. Sayangnya, semua ini menjadi sia-sia karena Moroi yang hidup di kota manusia sangat hebat dalam menyembunyikan diri mereka sendiri. Aku memeriksa apapun yang bisa kupikirkan sebagai kebiasaan Moroi ketika keluar, ternyata hanya menghasilkan kesia-siaan. Dan tanpa Moroi, aku tidak memiliki jawaban.

Jadi, aku mulai mengintai Nightingale, yang ternyata tidaklah mudah. Sangat sulit untuk seorang gadis delapan belas tahun untuk berbaur dalam satu dari klub ter-elit di kota. Aku segera mengetahui kalau pakaian mahal dan tips yang banyak akan mempermudah jalanku. Pelayan mendatangiku untuk mengenaliku dan jika mereka berpikir kalau kehadiranku mencurigakan, mereka tidak akan memperdulikannya dan sangat senang memberikanku meja di sudut ruang yang aku inginkan. Kurasa mereka mengira aku adalah anak perempuan dari seorang pengusaha kaya atau politisi. Apapun latar belakangku, aku punya uang untuk berada disana, dan hanya itu yang mereka pedulikan. Meskipun begitu, malam pertamaku disana sangat mengecewakan. Nightingale mungkin memang merupakan sebuat tempat kaum Moroi kaya bergaul, tapi tempat itu juga terisi oleh banyak manusia. Dan pertamanya, mereka terlihat seperti para pelanggan klub ini. Kerumunan semakin banyak seiring malam yang semakin larut, dan memandang melalui kumpulan meja dan orang-orang yang masih duduk-duduk di bar, aku tidak melihat satupun Moroi. Satu-satunya hal yang bisa kucatat adalah aku melihat seorang wanita dengan rambut pajang pirangnya berjalan ke maja panjang dengan gengnya. Untuk sesaat, jantungku berhenti berdetak. Wanita itu mebelakangiku, tapi dia terlihat sangat mirip dengan Lissa yang membuatku merasa yakin kalau aku telah ditemukan. Hal yang aneh adalah, aku tidak tahu apakah aku harus merasa senang atau ketakutan. Aku sangat merindukan Lissa, sangat – dan saat yang sama, aku tidak ingin dia masuk dalam perjalanan berbahayaku ini. Kemudian wanita itu berbalik. Dan dia bukan Lissa. Dia bahkan bukan seorang Moroi, hanya manusia. Perlahan, nafasku kembali normal.

Akhirnya, satu minggu atau rasanya memang seperti itu, aku menemukan incaran pertamaku. Satu kelompok Moroi wanita datang di waktu jam makan siang yang sudah sangat terlambat, didampingi oleh dua pengawal, satu laki-laki satu perempuan, yang duduk dengan sangat resmi dan sunyi di meja saat Moroi mereka sedang bergosip dan tertawa bersama sampanye siang. Mengenali para pengawal itu adalah bagian yang bisa mengelabui. Untuk seseorang yang tahu bagaimana rupa mereka, Moroi sangat mudah dikenali: lebih tinggi dari kebanyakn manusia, pucat, dan sangat ramping. Mereka juga memiliki cara senyum yang lucu karena menahan bibir mereka agar taring mereka tidak terlihat. Dhampir, dengan darah manusia dalam tubuh kami, terlihat, ... sangat manusia.

Begitulah aku terlihat dari mata manusia yang tidak terlatih. Aku setinggi 5,7 kaki dan ketika para Moroi cenderung terlihat tidak nyata, tubuh seperti model, tubuhku terbentuk atletis dan berbentuk dibagian dada. Bentuk genetik yang berasal dari ayah tak dikenal yang berasal dari Turki. Terlalu banyak berada di bawah matahari memberikanku kulit kecoklatan yang berpasangan dengan rambut hitam yang panjang sehitam warna mataku.

Tapi bagi mereka yang dibesarkan di dalam dunia Moroi pasti bisa langsung mengenaliku sebagai dhampir melalui jarak dekat. Aku tidak yakin apa itu – mungkin semacam insting yang menarik kami kepada karakter kami dan mengenali campuran darah Moroi yang ada dalam diri kami.

Bagaimanapun juga, hal itu sangat penting ketika aku terlihat seperti manusia bagi kedua pengawal itu, jadi aku tidak membunyikan tanda peringatan bagi mereka berdua. Aku duduk di sudut ruangan, mencomot kaviarku dan berpura-pura sedang membaca buku. Sebagai catatan, aku rasa kaviar sangat menjijikkan, tapi makanan ini ada dimanapun di Rusia, khusunya di tempat-tempat berkelas. Kaviar dan borscht – sejenis sup gula. Aku hampir tidak pernah menghabiskan makananku di Nightingale dan dengan rakus akan membabat habis McDonald setelah itu, meskipun restoran McDonald di Rusia sedikit berbeda dengan tempat aku tumbuh di Amerika. Tapi tetap saja, seorang gadis harus makan. Jadi hal ini menjadi tes untuk kemampuanku, mempelajari Moroi ketika pengawal mereka sedang tidak memperhatikan mereka. Tak dapat disangkal, para pengawal memang sedikit santai selama siang hari, mengingat tidak mungkin ada Strigoi di bawah matahari. Tapi merupakan kebiasaan bagi para pengawal untuk memperhatikan apapun, dan mata mereka selalu menyapu seluruh ruangan tanpa henti. Aku sudah berlatih mengenai hal itu dan aku tahu trik mereka, jadi aku mengatur diriku untuk memata-matai mereka tanpa terdeteksi.

Wanita itu sering datang, biasanya menjelang sore. St. Vladimir memiliki jam malam sendiri, tapi Moroi dan dhampir yang hidup diantara manusia sama-sama beraktivitas pada siang hari atau diantara malam dan siang. Untuk beberapa saat aku memutuskan untuk mendekati mereka- atau bahkan mendekati para pengawal mereka. Sesuatu menahanku untuk tidak melakukannya. Jika seseorang mengetahui dimana kota tampat dhampir tinggal, itu pastilah Moroi laki-laki. Sebagian besar dari mereka mengunjungi kota para dhampir dengan harapan bisa mendapatkan sejumlah dhampir wanita murahan. Jadi aku berjanji pada diriku sendiri untuk menunggu beberapa minggu lagi untuk melihat Moroi laki-laki yang mungkin datang. Jika tidak, aku akan lihat informasi apa yang bisa diberikan oleh Moroi wanita itu padaku.

Akhirnya, beberapa hari berlalu, dua Moroi pria mulai menampakkan diri. Mereka cenderung datang setelah malam tiba, ketika pesta sebenarnya dimulai. Pria itu sekitar sepuluh tahun lebih tua dariku dan sangat tampan, mengenakan setelan gaya dan dasi sutra. Mereka membuat diri mereka terlihat berkuasa, orang penting, dan aku bertaruh semua uangku kalau mereka adalah keluarga bangsawan – khusunya ketika satu dari mereka membawa pengawal. Pengawalnya berpenampilan sama seperti mereka, lelaki muda yang mengenakan setelan untuk berbaur tapi masih tetap berhati-hati mengawasi ruangan sebagai kebiasaan pengawal yang rajin.

Dan ada wanita – selalu wanita. Kedua Moroi itu benar-benar penggoda ulung, terus saja mencari kesempatan dan menggoda setiap wanita yang mereka lihat – bahkan manusia. Tapi mereka tidak pernah pulang ke rumah bersama manusia. Itu adalah hal yang terlarang yang melekat kuat dalam dunia kami. Moroi harus menjaga dirinya terpisah dari manusia selama berabad-abad, deteksi rasa takut dari kaum yang tumbuh melimpah dan sangat berkuasa.

Tapi tentu saja itu bukan berarti laki-laki mau pulang ke rumah sendirian. Setiap malam, dhampir wanita biasanya muncul – selalu berbeda di setiap malamnya. Mereka datang dengan mengenakan gaun pendek dan riasan yang tebal, minum banyak dan selalu tertawa pada setiap apa yang dikatakan pria – meskipun mungkin hal tersebut sama sekali tidak lucu. Wanita- wanita itu selalu membiarkan rambut mereka tergerai, tapi sesekali, mereka merubah posisi kepala mereka untuk menunjukkan leher mereka, yang terlihat memiliki banyak luka. Mereka adalah pelacur darah, dhampir yang membiarkan kaum Moroi meminum darah mereka ketika sedang bercinta. Hal itu juga terlarang – meskipun terjadi secara diam-diam.

Aku masih ingin mendapatkan satu Moroi pria yang sendirian, jauh dari pengawasan pengawal mereka sehingga aku bisa menanyainya. Tapi itu tidak mungkin. Para pengawal tidak pernah meninggalkan Moroi mereka tanpa pengawasan. Aku bahkan berniat untu mengikuti mereka, tapi setiap kali kelompok itu meninggalkan klub, mereka hampir selalu melompat ke dalam limosin – membuatku tidak mungkin untuk melacak mereka hanya dengan berlari. Ini sangat menganggu pikiranku.

Aku akhirnya memutuskan malam ini untuk mendekati kelompok itu dan mengambil resiko terdeteksi sebagai dhampir. Aku tidak yakin jika ada orang yang berasal dari kampus sedang mencariku, atau bahkan kelompok ini peduli siapa aku. Mungkin aku hanya berpikir terlalu jauh. Jelas sangat mungkin kalau tidak ada satu orang pun yang peduli tentang seseorang yang dikeluarkan dari sekolah dan melarikan diri. Tapi jikapun ada seseorang yang mencariku, menurutku sangat diragukan jika itu berasal dari para pengawal. Meskipun aku sudah delapan belas tahun, aku tidak mungkin masuk ke dalam kondisi dimana seseorang ditugaskan khusus untuk mencariku dan mengangkutku kembali ke Amerika. Dan tidak ada kemungkinan bagiku untuk kembali sebelum menemukan Dimitri.

Lalu, seperti yang sudah kurencanakan sebelumnya, saat aku bergerak ke kelompok Moroi itu, satu dari dhampir wanita meninggalkan meja dan berjalan ke bar. Para pengawal mengawasinya, tentu saja, tapi terlihat yakin tentang keselamatannya dan kembali memperhatikan Moroi mereka. Selama ini, aku selalu berpikir kalau Moroi pria adalah jalan terbaik untukku mendapatkan informasi mengenai perkampungan para dhampir dan pelacur darah – tapi mana yang lebih baik untuk mengetahui lokasi ini dengan menanyakannya langsung kepada pelacur darah yang sebenarnya?

Aku berjalan santai dari mejaku dan menuju bar, seolah aku ingin mengambil minuman. Aku berdiri disamping wanita yang sedang menunggu bartender dan mempelajarinya dalam pengamatanku. Dia pirang dan mengenakan gaun panjang yang ditutupi oleh perhiasan perak. Aku tidak bisa memutuskan kalau pakaiannya membuat gaun satin hitamku terlihat berkelas atau membosankan. Semua pergerakannya – bahkan caranya berdiri – sangat anggun, seperti seorang penari. bartender sedang melayani yang lain, dan aku tahu ini lah saatnya atau tidak sama sekali. Aku menghadap ke arahnya.

“Apa kau bisa berbahasa Inggris?”

Dia terlonjak kaget dan melihat ke arahku. Dia lebih tua dari yang aku kira, usianya sepertinya tertutupi oleh riasannya. Mata birunya menebak jati diriku dengan cepat, mengenaliku sebagai dhampir.

“Ya,” jawabnya berhati-hati. Bahkan satu kata itu keluar dengan aksen yang khas.

“Aku sedang mencari sebuah kota ... sebuah kota dimana banyak dhampir tinggal, di daerah Siberia. Apa kau mengerti apa yang aku bicarakan? Aku harus menemukannya.” Lagi, dia mempelajariku, dan aku tidak bisa membaca ekspresinya. Dia mungkin pernah menjadi pengawal dari apa yang ditunjukkan melalu wajahnya. Mungkin dia pernah dilatih sekali dalam hidupnya.

“Jangan,” katanya kasar. “Relakan saja.” dia berpaling, perhatiannya kembali kepada bartender yang sedang membuatkan koktail biru dengan ceri untuk seseorang.

Aku menyentuh tangannya. “Aku harus menemukannya. Ada seorang pria ...” aku tersendat untuk melanjutkan. Terlalu banyak untuk sesi introgasiku. Hanya memikirkan Dimitri saja sudah membuat jantungku tersangkut ditenggorokanku. Bagaimana bisa aku menjelaskannya kepada wanita ini? Kalau aku mengikuti petunjuk yang sedikit, keluar mencari seorang pria yang paling aku cintai di dunia ini – seorang pria yang sudah berubah menjadi Strigoi yang aku ingin bunuh sekarang? Bahkan sekarang, aku bisa membayangkan kehangatan dari mata cokelatnya dengan sempurna dan bagaimana tangannya yang pernah menyentuhku. Bagaimana bisa aku melakukan apa yang aku lakukan sekarang dengan menyebrangi lautan?

Fokus. Fokus. Fokus.

Dhampir perempuan itu menatapku balik. “Dia tidak layak untuk itu,” katanya, salah mengartikan maksudku. Tidak diragukan lagi dia mengira aku adalah gadis yang sedang patah hati, sedang mengejar pacarku - maksudku pernah menjadi pacarku.

“Kau terlalu muda ... belum terlambat untuk tidak memperdulikan semua hal itu.” Wajahnya mungkin terlihat dingin, tapi ada kesedihan yang terasa dari balik suaranya. “Pergi dan lakukan hal lain dengan hidupmu. Menjauhlah dari tempat itu.”

“Kau tahu dimana tempatnya!” aku berseru, terlalu bersemangat sehingga menunjukkan kalau aku pergi kesana bukanlah untuk menjadi pelacur darah.

“Tolonglah – kau harus katakan padaku. Aku harus kesana!”

“Ada masalah?” Baik dia maupun aku berbalik dan menatap wajah tegas dari salah satu pengawal. Sial. Dhampir wanita ini memang bukan prioritasnya, tapi mereka harus memperingatkan seseorang yang menggangunya. Pengawal itu hanya sedikit lebih tua dariku, dan aku memberikan senyuman manis padanya. Aku mungkin tidak mengenakan gaun semenarik wanita itu, tapi aku tahu rok pendekku menunjukkan bagian terbaik dari kakiku. Tentu saja seorang pengawal tidak memiliki kekebalan terhadap itu kan? Sebenarnya, ia kebal. Ekspresi kerasnya menunjukkan kalau pesonaku tidak bekerja. Masih, aku berpikir sebaiknya aku mencoba keberuntunganku dengan pengawal ini sebagai penyelidik.

“Aku mencoba menemukan sebuah kota di Siberia, sebuah kota tempat dimana para dhampir tinggal. Apa kau tahu?”

Dia tidak berkedip. “Tidak.”

Luar biasa. Mereka berdua bermain sulit. “Ya, baiklah, mungkin bos mu tahu?” Aku bertanya sopan, berharap aku terdengar seperti seseorang yang ingin menjadi pelacur darah. Jika para dhampir itu tidak mau bicara, mungkin satu dari Moroi itu mau.

“Mungkin dia perlu teman dan mau berbicara denganku.”

“Dia sudah punya teman bicara,” pengawal itu menjawab tegas. “Dia tidak perlu lagi.”

Aku masih tetap tersenyum. “Apa kau yakin?” aku mendesah. “Mungkin kita harus menanyakan kepadanya.”

“Tidak,” jawab pengawal. Dalam satu kata, aku mendengar tantangan dan perintah. Mundur. Dia tidak akan ragu untuk melawan siapa pun yang ia pikir sebagai pengganggu tuannya – bahkan seoarang gadis dhampir kecil. Aku mempertimbangkan untuk tetap bersikeras terhadap keinginanku tapi dengan cepat memutuskan untuk mengikuti peringatan dan langsung mundur.

Aku mengangkat bahu. “Dia yang rugi.” Dan tanpa kata lain, aku berjalan santai ke mejaku, seolah penolakan itu bukan masalah besar. Sementara itu aku menjaga nafasku, setengah berharap pengawal itu akan menarikku keluar dari klub dengan menjambak rambutku. Itu tidak terjadi. Akhirnya setelah aku mengenakan jaketku dan meletakkan uang di meja, aku melihatnya mengawasiku, mata yang curiga dan menduga-duga.

Aku meninggalkan Nightingale dengan sikap tidak peduli yang sama, keluar menuju jalanan yang ramai. Ini sabtu malam, dan ada banyak klub lain dan restoran di sekitarnya. Para penggemar pesta memenuhi jalanan, sebagian berpakaian mewah seperti para pelanggan Nightingale; yang lain, remaja seumuranku berpakaian santai. Antrian panjang diluar klub, suara musik dansa terdengar nyaring dan berat dengan bunyi bass. Restoran dengan dinding kaca menunjukkan makan malam elegan dengan meja mewah. Sepanjang jalanku melalui kerumunan orang-orang itu, aku dikelilingi oleh percakapan dengan bahasa Rusia, aku menolak keinginan untuk menengok ke belakang. Aku tidak ingin meningkatkan kecurigaan jika dhampir itu masih mengawasiku.

Ketika aku berputar di jalan yang sepi yang merupakan jalan pintas ke hotelku, aku bisa mendengar suara pelan dari langkah kaki. Aku dengan pasti memiliki cukup peringatan dalam diriku kalau pengawal itu memutuskan mengikutiku. Sebenarnya, tidak ada jalan bagiku untuk membiarkannya mengalahkanku. Aku mungkin lebih kecil darinya – dan mengenakan gaun dan hak tinggi – tapi aku sudah sering melawan laki-laki, termasuk Strigoi. Aku bisa menangani laki-laki ini, khususnya jika aku menggunakan elemen kejutan. Setelah berjalan di sekitar tempat itu cukup lama, aku menyadarinya dan kejutan itu berputar dan berbalik dengan baik. Aku mengambil langkahku dan menatap tajam ke beberapa sudut jalan, satu dari sudut itu mengarahkanku pada pemandangan gelap, gang yang sepi. Menakutkan, ya, tapi itu menjadikannya tempat penyergapan yang baik ketika aku masuk ke dalam jalan keluar. Aku diam-diam melepaskan sepatu hak tinggiku. Mereka berwarna hitam dengan bahan kulit yang cantik tapi tidak pantas untuk berkelahi, kecuali jika aku berencana untuk mencongkel mata seseorang dengan tumitnya. Sebenarnya, bukan ide yang buruk. Tapi, aku tidak semenyedihkan itu. Tanpa sepatu-sepatuku, trotoar terasa sangat dingin terasa di bawah telapak kakiku yang telanjang mengingat hujan turun tadi pagi.

Aku tidak perlu menuggu lama. Beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah kaki dan melihat bayangan panjang penguntitku muncul di tanah, muncul di bawah lampu jalan yang berkedap-kedip di tepian trotoar. Penguntitku berhenti, tidak diragukan sedang mencariku. Sungguh, kurasa, pria ini tidak waspada. Tidak ada pengawal yang dalam pengejaran mereka bisa terlihat jelas. Dia harusnya bergerak dengan lebih sembunyi-sembunyi dan tidak menunjukkan dirinya dengan mudah. Mungkin latihan pengawal di Rusia tidak sebaik latihan ditempat dimana aku dilatih.

Tidak, itu tidak benar. Tidak dengan cara Dimitri membasmi musuh-musuhnya. Mereka memanggilnya dewa di Akademi. Penguntiku mengambil beberapa langkah, dan saat itulah aku mengambil gerakanku. Aku melompat keluar, tinjuku sudah siap.

“Baiklah,” aku berseru. “Aku hanya ingin menanyakan beberapa pertanyaan, jadi mundur atau – “ Aku membeku. Pengawal dari klub itu tidak berdiri disana.

Seorang manusia.

Seorang gadis, tidak lebih tua dariku. Dia setinggi aku, dengan rambut pirang pendek dan jaket panjang berwarna biru laut yang terlihat mahal. Dibalik itu, aku bisa melihat gaun yang bagus dan sepatu bot kulit yang terlihat mahal seprti jaketnya. Dari awal aku bisa mengenalinya. Aku pernah melihatnya dua kali di Nightingale, berbicara dengan Moroi pria. Aku menduga dia hanyalah wanita kebanyakan yang mereka goda dan dengan cepat mereka tinggalkan. Selebihnya, apa gunanya manusia untukku?

Wajahnya sebagian tertutup bayangan, tapi bahkan dengan penerangan yang remang-remang, aku bisa melihat ekspresi kesal di wajahnya. Ini jelas bukan hal yang aku harapkan.

“Itu kau, kan? dia bertanya. Mengisyaratkan keterkejutan yang lain. Bahasa Inggrisnya beraksen Amerika sepertiku.

“Kau lah yang meninggalkan sederet tubuh Strigoi di sekitar kota. Aku melihat punggungmu di klub malam ini dan aku tahu kalau itu kau.”

“Aku ...” Tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibirku. Aku tidak tahu harus merespon seperti apa. Seorang manusia berbicara biasa mengenai Strigoi? Tidak pernah kudengar sebelumnya. Ini bahkan lebih mengherankan dari pada kebenaran dikejar Strigoi disini. Aku tidak pernah memiliki pengalaman seperti ini sepanjang hidupku. Dia terlihat tidak peduli dengan diriku yang heran terbius membatu.

“Dengar, kau tidak bisa semudah itu melakukannya, ok? Apa kau tahu seberapa banyak masalah yang aku terima karena berhadapan dengan semua kejadian itu? Semuanya sudah cukup buruk tanpa kau tambahkan kekacauan lagi di dalamnya. Polisi menemukan mayat yang kau tinggalkan di taman, kau tahu. Kau tidak bisa membayangkan berapa banyak alasan yang kubuat untuk menutupinya.”

“Siapa ... Siapa kau? Aku bertanya akhirnya. Itu benar. Aku meninggalkan mayat di taman, tapi serius, apa yang memangnya harus kulakukan? Menyeretnya kembali ke hotelku dan mengatakan kepada penjaganya kalau temanku kebanyakan minum?

“Sydney,” gadis itu berkata dengan letih. “Namaku Sydney. Aku ahli kimia yang ditugaskan disini.”

“Ahli apa?”
Dia mendesah nyaring. Dan aku sangat yakin dia memutar matanya. “Tentu saja. Itu menjelaskan semuanya.”

“Tidak, tidak terlalu,” jawabku, akhirnya bisa mendapatkan ketenanganku kembali. “Sebenarnya, kurasa kau lah yang harus memberikan banyak penjelasan disini.”

“Dan sikap juga. Apa kau adalah bagian dari tes yang dikirimkan kesini untukku? Oh, Tuhan. Tentu saja.”

Aku mulai marah sekarang. Aku tidak suka dibuat bingung. Aku jelas tidak suka dibuat bingung oleh seorang manusia yang membuatku terdengar telah melakukan kejahatan karena membunuh Strigoi.

“Dengar, aku tidak tahu siapa kau atau bagaimana kau bisa tahu mengenai semua hal ini, tapi aku tidak ingin berdiri disini dan – “

Rasa mual memenuhiku dan aku menegang, tanganku serta merta memegang pasak perak yang kusimpan di kantong jaketku. Sydney masih memasang tampang kesal, tapi ekspresinya tercampur dengan kebingungan sekarang seiring perubahan dalam posisiku. Dia menilaiku, aku membiarkannya.

“Ada apa?” tanyanya.

“Kau akan memiliki urusan dengan tubuh Strigoi lagi,” kataku, tepat di saat Strigoi menyerangnya.

Diterjemahkan langsung dari Novel Vampir Academy: Blood Promise karya Richelle Mead oleh Noor Saadah. This is truly  fanmade and  no profit work.

You May Also Like

7 komentar

  1. kak, yg shadow kiss kok nggak d lanjutin ?

    ReplyDelete
  2. Kan buku nya udah terbit, cin ... jadi mulai nge-translate Blood Promise deh hehehe....
    tapi nanti bisa deh kk translatekan lagi...

    ReplyDelete
  3. waaahh...bru ngebuka blog. blog mu menarik juga, q jg suka baca bku..especially novel.. and kykx cerita blood promise bgus deh... thx :)

    ReplyDelete
  4. blh nnya ga ? kr2 kapan ya kluar novel blood promise yg versi bahasa indonesia ? thx :)

    ReplyDelete
  5. Untuk buku Blood Promise udah terbit kok tahun kemarin. Yang belum terbit itu Spirit Bound ^^

    ReplyDelete
  6. shadow kiss kow g ada lanjutannya min....dimana bisa baca online atau donlod novel terjemahannya.txs

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear anonim,
      untuk Shadow Kiss nya tidak dilanjutkan karena buku versi bahasa Indonesianya udah terbit. Jadi aku fokus sama Spirit Bound aja yang sepertinya bukunya belum tentu akan terbit karena penerbitnya udah pailit. hehehe Maaf yaa :)

      Thanks

      Delete