Blood Promise ~ Bahasa Indonesia (Chapter 12)

by - 9:56 AM

M ERASA DITINGGALKAN LISSA dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, dan tanpa adanya rencana aksi selanjutnya, aku praktis melanjutkan hidup dengan tetap tinggal bersama keluarga Belikov untuk beberapa hari berikutnya. Aku jatuh dalam rutinitas normal mereka, lagi-lagi aku kaget dengan bagaimana mudahnya aku melakukannya. Aku berusaha keras untuk membuat diriku berguna, melakukan tugas sehari-hari yang mereka izinkan untuk kulakukan dan bahkan sampai melakukan hal yang begitu jauh dari bayanganku dengan menjaga bayi (sesuatu yang tidak membuatku nyaman, mengingat sebagai calon penjaga, aku tidak memiliki waktu lebih untuk melakukan perkejaan paruh waktu selesai sekolah sebagai pengasuh bayi). Yeva mengawasiku sepanjang waktu, tidak pernah mengatakan apapun tapi selalu terlihat seolah dia tidak setuju. Aku tidak yakin apakah ia menginginkan aku pergi atau apakah memang begitu ia selalu terlihat. Namun yang lain tidak pernah menanyaiku sama sekali. Mereka terlihat senang memiliku di sekitar mereka dan membuatnya semaki tampak jelas di setiap kali mereka melakukan sesuatu. Viktoria khususnya, yang merasa bahagia.

“Aku berharap kau bisa kembali ke sekolah bersama kami,” kata Viktoria suatu malam. Dia dan aku sudah menghabiskan banyak waktu bersama.



“Kapan kau akan pulang?”
“Senin, tepat setelah hari Paskah.”

Aku mersakan sedikit kesedihan menggolara dalam diriku. Apakah aku masih berada disini atau tidak aku akan merindukan dirinya.

“Oh, Tuhan. Aku tidak menyangka akan secepat itu.”

Keheningan kecil jatuh diantara kami; kemudian dia menatapku lama. “Pernahkan kau berpikir ... well, pernahkan mungkin kau berpikir tentang kembali ke St. Basil dengan kami?”

Aku menatap. “St. Basil? Sekolah mu namanya menggunakan saint juga?” Tidak semuanya seperti itu. Adrian berasala dari sebuah sekolah di Timur Pasifik bernama Alder.

“Kepala sekolah kami seorang pendeta dari manusia,” katanya sambil menyeringai. “Kau bisa mendaftar disana. Kau bisa menyelesaikan tahun terakhirmu – aku yakin mereka akan menerimamu.”

Dari semua pilihan gila yang pernah aku pertimbangkan dalam perjalanan ini – dan percaya padaku, aku sudah mempertimbangkan banyak sekali hal gila – ada satu yang tidak pernah melintas dalam pikiranku. Aku masuk sekolah lagi. Aku sangat yakin tidak ada apapun lagi yang bisa aku pelajari – well, setelah bertemu Sydney dan Mark, sangat jelas memang ada beberapa hal lain yang masih perlu dipelajari. Namun, mempertimbangkan apa yang aku inginkan untuk kulakukan dengan hidupku, aku tidak terpikir kalau menjalani semester lain dengan Matematika dan IPA bisa berarti lebih buatku. Dan selama latihan menjadi penjaga yang kuterima selama ini, aku lebih banyak melakukan persiapan untuk ujian di akhir tahun. Entah bagaimana, aku meragukan ujian-ujian itu dan tantangan-tantangan yang akan datang akan sangat jauh dari apa yang sudah aku alami dengan Strigoi.

Aku menggelengkan kepalaku. “Kurasa tidak. Kupikir aku sudha cukup berurusan dengan sekolah. Lagipula, sekolahnya pasti dalam bahasa Rusia.”

“Mereka akan menerjemahkannya untukmu,” sebuah seringaian nakal menyala di wajahnya. “Selain, bahasa menendang dan memukul.” Senyumnya memudar menjadi ekspresi yang terlihat lebih bijaksana. “Tapi serius, jika kau tidak menyelesaikan sekolah dan kau tidak ingin menjadi pengawal ... mengapa kau tidak tinggal disini saja? Maksudku, tinggalah di Baia. Kau bisa tinggal bersama kami.”

“Aku tidak akan menjadi pelacur darah,” jawabku spontan. 
Sebuah tatapan aneh melintasi wajahnya. “Bukan itu yang aku maksudkan.”

“Seharusnya aku tidak mengatakannya. Maaf.” Aku merasa jahat dengan jawaban spontan itu. Saat aku terus mendengar gosip tentang pelacur darah di kota, aku hanya melihat satu atau dua, dan jelas sekali wanita di keluarga bukan termasuk jjenis itu. Kehamilan Sonya memang sesuatu yang masih misteri, namun bekerja di toko obat tidak menunjukkan aktivitas mesum. Aku sudah sedikit mempelajari mengenai situasi Karolina. Ayah dari anak-anaknya adalah seorang Moroi yang jelas sekali merupakan hubungan yang sungguh-sungguh. Dia tidak merendahkan dirinya dengan bersama pria itu, dan pria itu pun tidak memanfaatkannya. Setelah bayinya lahir, mereka berdua memutuskan berpisah, tapi dengan jalan persahabatan. Sekarang Karolina tengah menjalani hubungan dengan seorang penjaga yang berkunjung setiap kali ia harus pergi. 

Beberapa pelcaur darah yang pernah kulhat di sekitar kota sangat mirip dengan gambaran yang ada di kepalaku. Pakaian dan dandanan mereka meneriakkan seks. Memar di leher mereka jelas sekali menunjukkan kalau mereka tidak masalah membiarkan pasangan mereka meminum darah selama bercinta, yang jelas merupakan hal paling rendah yang bisa dilakukan para dhampir. Hanya manusia yang boleh memberikan darahnya kepada Moroi. Jenisku tidak. Membiarkan hal ini terjadi – khusunya selama aktivitas bercinta – seperti yang sudah kubilang, sangat rendah. Haling paling kotor dari yang kotor.

“Ibu akan senang kalau kau tetap tinggal. Kau bisa mendapatkan pekerjaan juga. Jadilah bagian dari keluarga kami.”

“Aku tidak bisa menggantikan tempat Dimitri, Viktoria,” jawabku lembut.
Dia meraih dan meremas hangat tanganku. “Aku tahu. Tidak ada satupun orang yang mengharapkanmu untuk jadi dia. Kami menyukaimu karena dirimu, Rose. Keberadaanmu disini terasa sangat benar – ada alasan mengapa Dimka memilih bersamamu. Kau cocok disini. “

Aku mencoba untuk membayangkan kehidupan yang ia gambarkan. Terdengar ... mudah. Nyaman. Tidak ada kekhawatiran. Cukup tinggal bersama sebuah keluarga bahagia, tertawa dan keluar bersama setiap malam. Aku bisa melanjutkan hidupku sendiri, tidak perlu membuntutiorang lain sepanjang waktu. Aku akan mempunyai saudara perempuan. Tidak akan ada pertempuran – kecuali untuk bertahan. Aku bisa menyerah untuk melanjutkan rencana membunuh Dimitri – yang aku tahu akan membunuhku juga, secara fisik maupun jiwa. Aku bisa memilih jalur yang logis, membiarkannya pergi dan menerima kenyataan kalau dia sudah mati. Namun, .... jika aku melakukannya, mengapa tidak kembali saja ke Montana? Kembali ke Lissa dan Akademi? 

“Aku tidak tahu,” sahutku pada Viktoria akhirnya. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.” Obrolan ini terjadi tepat setelah makan malam dan dia melirik ke arah jam ragu-ragu.

“Aku tidak ingin meninggalkanmu, terutama karena kita tidak punya banyak waktu bersama, tapi ... aku harus segera menemui seseorang ...”

“Nikolai?” godaku.
Dia menggelengkan kepalanya, dan aku mencoba menyembunyikan rasa kekecewaanku. Aku pernah melihatnya beberpaa kali dan dia tumbuh menjadi sangat pantas untuk dicintai sekarang. Sayang sekali Viktoria tidak bisa menumbuhkan perasaan kepadanya. Meskipun, aku pernah bertanya-tanya apa ada sesuatu yang mungkin menahannya - atau seseorang. 

“Oh, bukan,” jawabku sambil menyeringai. “Siapa dia?”
Dia tetap menjaga agar wajahnya terlihat datar, imitasi ekspresi Dimitri. “Seorang teman,” jawabnya.

“Seseorang dari sekolah?”
“Tidak.” desahnya. “Dan itulah masalahnya. Aku akan sangat merindukannya.”

Senyumku memudar. “Aku bisa membayangkannya.”
“Oh,” dia terlihat malu. “Bodohnya aku. Maksudku, aku mungkin tidak akan melihatanya untuk sementara waktu ... tapi aku akan bertemu dengannya lgi. Tapi Dimitri telah tiada. Kau tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. sebenarnya, kata-katanya itu tidak semuanya benar. Tapi, aku tidak mengatakan itu padanya. Malah aku hanya berkata, “Ya.”

Aku terkejut, dia memelukku. “Aku tahu seperti apa rasanya cinta itu. Dan kehilangan ... aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Yang hanya bisa kuucapkan adalah kami ada disini untukmu. Kami semua, Oke? Kau tidak bisa menggantikan Dimitri, tapi kau terasa seperti saudara perempuan kami.”

Dia menganggapku saudaranya sehingga membuatku tegang dan hangat pada saay bersamaan. 

Dia harus pergi setelah itu untuk bersiap-siap menemui kencannya. Segera dia mengganti pakaian dan berdandan – jeals lebih dari sekedar teman biasa – dan segera melangkah ke arah pintu. Aku merasa senang karena aku tidak ingin ia melihat air mata yang dibawa oleh kata-katanya ke mataku. Aku menhabiskan waktukku sebagai anak tunggal. Lissa adalah seseeorang yang hampir terasa seperti saudara bagiku. Aku selalu berpikir kalau Lissa adalah satu-satunya yang bisa kuanggap begitu; satu-satunya yang telah aku hilangkan sekarang. Mendengar Viktoria memanggilku sebagai saudaranya... menggerakkan sesuatu di dalam diriku. Sesuatu yang menagtakan padaku kalau aku punya teman dan tidak sendirian. Aku melangkah turun ke arah dapur setelah itu dan segera Olena menemaniku. Aku tengah mengobrak-abrik makananku.

“Apakah aku mendengar Viktoria yang pergi?” tanyanya.
“Ya, dia pergi menemui seorang teman.” Sebagai bentuk menjagaan kepercayaan seseorang, aku menjaga ekspresiku agar tetap terlihat netral. Tidak mungkin aku menjelaskan alasan Viktoria keluar. 

Olena mendesah, “Padahal aku ingin dia membantuku berbelanja sesuatu di kota.”
“Aku akan melakukannya,” kataku dengan senang hati, “Setelah aku mendapatkan sesuatu untuk dimakan.”

Dia memberiku senyuman menenangkan dan membelai pipiku. “Kau punya hati yang baik, Rose. Aku bisa mengerti mengapa Dimka mencintaimu.” Rasanya sangat mengagumkan, betapa diterimanya hubunganku dengan Dimitri disini. Tidak satupun dari mereka mempermasalahkan perbedaan usia kami atau hubungan guru-murid. Seperti yang pernah kukatakan pada Sydney, seolah aku adalah jandanya atau sejenisnya dan kata-kata Viktoria tentang aku yang seharusnya tinggal disini kembali berputar dalam kepalaku. Cara Olena menatapku membuatku merasa kalau aku benar-benar putrinya, dan sekali lagi aku merasa sudah mengkhianati ibuku sendiri. 

Ibuku mungkin akan menghina aku dan Dimitri. Dia mungkin akan menganggapku tidak pantas dan berkata kalau aku terlalu muda. Atau mungkinkah seperti itu? Mungkin aku lan yang terlalu kasar membayangkannya. melihatku berdiri di depan lemari yang terbuka, Olena menggelengkan kepalanya sambil menyalahkan diori sendiri, “Tapi kau harus makan dulu.”


“Cemilan saja,” aku meyakinkannya. “Jangan repot-repot.” Dia akhirnya mengiriskan sepotong besar roti hitam yag dia buat sebelumnya hari ini dan meletakkan semangkuk mentega karena dia tahu betapa aku senang sekali mengolesi tiap potongan rotiku.Karolina pernah menggodaku kalau orang Amerika mungkin akan kaget jika tahu apa yang ada di dalam kandungan roti itu, jadi aku tidak pernah menanyakan apapun. Entah bagaimana, rasanya manis dan asam di saat yang bersamaan, dan aku menyukainya.

Olena duduk di hadapanku dan melihatku makan. “Ini adalah makanan favoritnya ketika ia masih kecil.”
“Dimitri?”
Dia mengangguk. “Kapanpun dia istirahat dari sekolah, hal pertama yang ia lakukan adalah meminta roti itu. Aku harus membuat satu loyang roti untuk dirinya sendiri hampir setiap kali ia makan. Anak-anak perempuan tidak [ernah begitu banyak memakannya.”

“Cowok selalu makan lebih banyak,” sejujurnya, aku hamp[ir bisa menyaingi nafsu makan mereka semua.
“Benar,” katanya geli. “Tapi aku bahkan mencapai tujuanku ketika aku membuatnya mulai membuat roti itu untuk dirinya sendiri. Kukatakan padanya, jika dia akan memakan semua masakanku, dia lebih baik tahu seberapa banyaknya hal yang harus dilakukan untuk membuatnya.”

Aku tertawa, “Aku tidak bisa bayangkan Dimitri membuat roti.”

Dan akhirnya, segera setelah kata-kata itu keluar, aku berpikir ulang. Asosiasi instanku tentang Dimitri bahwa dia selalu kuuat dan sengit; itu adalah daya tariknya yang seksii, individu yang bertempur seperti seorang dewa datang dalam pikiranku. Namun, sekarang kelembutan dan kebijaksanaan Dimitri bercampur dengan garis mematikan itu sehingga membuatnya begitu sangat menaggumkan.

Tangan yang sama yang memegang psak dan menggunakannya dengan tepat dan dengan hati-hati menyisiri rambutku agar tidak menutupi wajahku.

Matanya yang lihai mengenali bahaya apapun di suatu tempat ternyata bisa menghormatiku dengan tatappan kagum dan memuja, seolah aku adalah wanita tercantik dan terhebat di dunia.

Aku mendesah, termakan oleh rasa sakit yang pahit dalam dadaku yang terasa menajdi hal biasa bagiku sekarang. Hal yang rasanya begitu bodoh, membuat satu loyang roti dari semua hal lain. Tapi begitulah yang pernah terjadi. Aku selalu emosional setiap kali memikirkan Dimitri.

Mata Olena menatapku, manis dan menghibur. “Aku paham,” katanya, menebak pikiranku. “Aku tahu jelas apa yang tengah kau rasakan.”

“Apakah semakin lama akan terasa semakin mudah?” tanyaku.
Tidak seperti Sydney, Olena punya jawaban.
“Ya. Tapi kau tidak akan pernah menjadi orang yang sama.”
Aku tidak tahu apakah aku harus merasa nyaman dengan kata-kata itu atau tidak. 

Setelah aku menyelesaikan makananku, dia memberiku daftar belanjaan, aku melangkah bebas menuju pusat kota, senag berada di luar dan bergerak. Tidak melakukan apapun sangat tidak cocok denganku. Saat aku berada di dalam toko bahan makanan, aku kaget melihat Mark. Aku mengira dia dan Olenna tidak terlalu sering mengunjungi kota. Aku tidak akan melakukannya jika jadi mereka, menginat mereka menanam sendiri makanan mereka dan hidup dari ladang. Dia memberiku senyuman yang hangat.

“Aku bertanya-tanya sebelumnya apakah kau masih berada di sini.”
“Ya,” aku memegang keranjangku. “Hanya berbelanja untuk keperluan Olena.”
“Aku senang kau masih disini,” katanya. “Kau terlihat lebih ... damai.”
“Kurasa cincinmu membantuku. Paling tidak dengan kedamaiannya. Benda ini tidak bisa menyelesaikan banyak hal sejauh keputusan yang harus diambil.”

Dia mengerutkan dahi, memindahkan susu kaleng yang ia pegang dari satu tangan ke tangan yang lain. “Keputusan apa?”

“Apa yang harus aku lakukan sekarang. Kemana akan pergi.”
“Kenapa tidak tinggal disini?”

Rasanya mengerikan, sangat mirip dengan percakapanku tadi dengan Viktoria. Dan responku juga hampir sama. “Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika aku tinggal disini.”

“Dapatkan pekerjaan. Tinggallah bersama keluarga Belikov. Kau tahu mereka menyayangimu. Kau sangat cocok bersama keluarga mereka.”

Perasaan hangat dan dicintai kembali hadir, dan lagi-lagi, aku mencoba membayangkan diriku bersama mereka, bekerja di sebuah toko seperti ini atau menunggui meja.

“Aku tidak tahu,” jawabku. Aku memiliki catatan yang kurang baik. “Aku hanya tidak tahu apakan hal seperti itu cocok buatku.”

“lebih baik daripada pilihan alternatif yang lain,” ia memperingatkan. “Lebih baik daripada berlarian tanpa memiliki tujuan yang jelas, melemparkan dirimu sendiri untuk mengahdapi bahay. Tidak ada pilihan sama sekali disana ...”

Namun, itulah alasan mengapa aku mendatangi Siberia sebeagai tujuan pertama dari rencanaku. Suara hatiku mencaci maki diriku sendiri. Dimitri, Rose. Apa kau sudah melupakan Dimitri? Apakah kau lupa bagaimana kau datang kesini hanya untuk membebaskannya, seolah dia yang menginginkannya? Atau benarkah itulah yang dinginkannya? Mungkin dia menginginkan aku untuk tetap aman. Aku sungguh tidak tahu, dan tanpa ada pertolongan dari Mason lagi, pilihanku malah semakin kacau. Memikirkan Mason mendadakn mengingatkanku pada suatu hal yang telah lama terlupakan.

“Ketika kita ngobrol sebelumnya, kita membecirakan apa yang bisa dilakukan Lissa dan Oksana. Tapi bagaimana denganmu?”

Mark menajamkan matanya, “Apa maksudmu?”
Ppernahkah kau ... pernahkah kau bertemu,um, hantu?”

Beberapa saat berlalu, dan kemudian ia menarik nafas. “Kuharap hal itu tidak terjadi padamu.” Sangat mengeherankan ketika aku merasa leganya mengetahaui kalau aku tidak sendirian dalam pengaman berhantuku ini. Meskipun sekarang aku mengerti, pernah mengalami kematian dan pernah menjalani dunia orang mati membuatku menjadi target roh. Hal ini masih menjadi satu dari hal gila menjadi dicium bayangan.

“Apakah ini terjadi tanpa kau inginkan?” tanyaku.
“Awalnya. Kemudian aku belajar mengendalikannya.”
“Aku juga,” tiba-tiba aku mengingat kejadian di lumbung waktu itu. “Sebenarnya, tidak semuanya benar,” segera kurendahkan suaraku. Aku tergesa-gesa merangkum apa yang terjadi dalam perjalananku kesini bersama Sydney. Aku tiidak pernah membicarakannya dengan orang lain.
“Kau tidak boleh lagi melakukannya,” katanya keras.
“Tapi aku tidak bermaksud melakukannya! Itu terjadi begitu saja.”
“Kau panik. Kau butuh pertolongan, dan ada bagian dari dirimu yang memanggil roh-roh di sekelilingmu. Jangan lakukan itu. Itu tidak bear, akan membuatmu mudah kehilnagna kendali.”
“Aku bahkan tidak tahu bagaimana caraku melakukannya.”

Seperti yang sudah kubilang, kehilangan kendali. Jangan pernah membiarkan kepanikan menguasi bagian terbaik dari dirimu.” Seorang wanita tua melewati kami, sebuah skarf menutupi kepalanya dan sebuah keranjang sayur melingkari tangannya. Aku menunggu sampai dia menghilang sebelum bertanya lagi pada Mark, “Mengapa mereka mau bertempur untukku?”
“Sebab yang telah mati membenci Strigoi. Strigoi itu tidak alami, tidak hidup ataupun mati – hanya eksistansinya berada di antara keduanya. Ssama seperti saat kita merasakan setan, begitulah halnya para hantu merasakan Strigoi.”
“Kelihatannya mereka bisa menjadi senjata yang bagus.”
Wajah itu, yang biasanya santai dan terbuka, mengerutkan dahi. “Itu berbahaya. Orang-orang seperti kau dan aku sudah pernah berjalan di tepian kegelapan dan kegilaan. Memanggil yang telah mati secara terbuka hanya akan membawa kita lebih dekat untuk jatuh dari tepian itu dan akhrnya kita akan kehilangan akal sehat.” Dia melirik jam tangannya dan mendesah. “Dengar, aku harus pergi, tapi aku serius, Rose. Tinggalah disini. Menjauhlah dari masalah. Lawan strigoi jika mereka mendatangimu, tapi jangan mencari mereka dengan membabi buta. Dan jelas, tinggalkan masalah hantu itu.”

Banyak sekali nasihat yang tidak yang tidak yakin bisa kuikuti nantinya. Tapi aku berterima kasih padanya dan mengirimkan salamku untuk Oksana sebelum mengirimkan salamku untuk Oksana sebelum membayar dan pergi juga. Aku menuju jalan pulang ke arah rumah Olena ketika aku memutari sebuah sudut gang dan hampir berjalan tepat di sebelah Abe.

Dia berpakaian mewah seperti biasanya, mengenakan jas mahal dan skarf kuning emas yang sepadan dengan perhiasan emas yang ia pakai. Penjaganya berkeliaran di sekitar tempatini dan dia bersandar di dinding bata sebuah bangunan .
“Jadi inilah mengapa kau datang ke Rusia. Untuk pergi ke pasar seperti seorang petani.”
“Tidak,” kataku. “Tentu saja tidak.”
“Hanya berkunjung ke tempat indah kalau begitu?’
“Tidak. Aku hanya ingin berguna. Berhentilah mencoba mendapatkan informasi dariku. Kau tidak sepintar yang kau kira.”
“Itu tidak benar.” jawabnya.
“Dengar, aku sudah mengataknnya padamu. Aku datang kesini untukku mengatakan berita itu pada keluarga Belikov. Jadi kembalilah dan katakan pada siapapun kau bekerja untuk menerima hal itu.”
“Dan aku sudah mengatakan padamu untuk tidak berbohong padaku,” katanya. Lagi, aku melihat campuran aneh antara bahaya dan gurauan.

“Kau tidak mengerti bagaimana aku sudah cukup sabar menghadapimu. Dengan orang lain aku pasti sudah mendapatkan informasi di malam pertama aku membutuhkannya.”

“Beruntungnya aku,” aku mengejek balik.
“Apa sekarang? Apa kau akan membawaku ke lorong bawah dan memukuliku hingga aku mengatakan alasan mengapa aku disini? Kau tahu, aku kehilangan ketertarikan dalam seluruh rutinitas gaya keroyokan menakutkan khas bos-bos ini.”

“Dan aku kehilnagn kesabaranku untukmu,” katanya. Ada sedikit candaan dan saat ia berdiri di depanku, aku tidak bisa menolak untuk memberikan penilaian tentang tubuhnya yang ternyata lebih bagus ketimbang moroi kebanyakan. Sebagian besar moroi, menolak untuk bertempur, tapi aku tidak akn terkejut jika Abe bertindak kasar seperti kebanyakan orang atau penjaganya punyai.

“Dan sejujurnya, aku sudah tidak lagi peduli alasan kau ada disini kau cuma perlu pergi. Sekarang.”
“Janga mengancamku, orang tuua. Aku akan pergi kapanpun aku mau.” Lucu, aku baru saja berjanji pada Mark kalau aku masih belum tahu apakah aku bisa tinggal di Baia. Tapi saat Abe menekanku, aku malah ingin menancapkan kakiku disini.

“Aku tidak tahu apa yang kau coba jauhkan dariku, tapi aku tidak takut padamu.” Itu tidak semuanya benar.
“Kau harusnya takut,” jawabnya balik dengan puas.
“Aku bisa menjadi teman yang sangat baik atau musuh yang sangat jahat. Aku bisa membuatnya sepadan kalau kau pergi. Kita bisa membuat penawaran.”

Hampir ada sebuah kilatan kesenangan di matanya saat ia berbicara. Aku ingat Sydney pernah menggambarkan bagaimana ia memanipulasi orang lain, dan aku merasa inilah cara ia hidup, untuk bernegosiasi, memberikan pertukaran untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

“Tidak,” kataku. “Aku akan meninggalkan mereka saat aku siap. Dan tidak ada apapun yang bisa kau atau siapapun yang mempekerjakanmu lakukan untuk memaksa ku pergi.” Berharap aku terlihat meyakinkan, aku berbalik menjauh.

Dia meraih dan mencengkram bahuku, menarikku kembali, hampir membuatku menjatuhkan belanjaanku. Aku mulai memasang posisi menyerang ke depan sebagai bentuk mode penyeranganku, tapi para penjaganya sudah berada di sekitarnya dengan secepat kilat. Aku tahu kalau aku tidak akan bisa melawan terlalu jauh.

“Waktumu sudah habis disini,” desis Abe. “Di Baia. Di Rusia. Kembalilah ke Amerika. Aku akan memberikan semua uang yang butuhkan, tiket kelas utama, apapun.”

Aku melangkah mundur menjauhinya, membelakangi dengan hati-hati, “Aku tidak butuh bantuanmu atau uangmu – hanya Tuhan yang tahu dari mana semua itu berasal.” Sekelompok orang menuju ke arah kami dari seberang jalan, tertawa dan mengobrol, aku semakin mundur lebih jauh, jelas Abe tidak akan memulai suatu adegan yang memiliki bonus banyak saksi. Itu membuatku lebih berani, yang rasanya terlihat bodoh dalam posisiku.

“Dan aku sudah bilang padamu: Aku akan pulang kapanpun aku mau.” Mata Abe berpindah ke arad para petani yang mendekat itu, dan dia segera mundur bersama penjaganya. Senyum yang membuat merinding itu terpatri d wajahnya. :Dan aku sudah bilang pasamu. Aku bisa menjadi teman yang sangat baik atau musuh yang sangat jahat. Pergilah dari Baia sebelum kau menemukan yang mana dari diriku yang akan kau lihat.”

Dia berbalik dan pergi, membuatku sangat lega. Aku tidak ingin ia melihat seberapa banyak ketakutan yang tertinggal di wajahku oleh kata-kata yang ia tinggalkan.

Aku segera tidur malam itu, mendadak merasa menjadi anti-sosial. Aku berbaring disana selama beberapa saat, memindahkan halaman demi halaman majalah yang tidak bisa kubaca, dan dengan menakjubkan aku menemukan diriku terus merasa lelah. Kurasa pertemuanku dengan Mark dan Abe membuat merasa sangat lelah.

Kata-kata Mark tentang tetap tinggal telah menamparku untuk dengan rumah setelah percakapanku dengan Viktoria. Ancaman yang samar Abe telah menaikkan rasa pertahananku, membuatku waspada pada siapapun yang bekerja dengan Abe untuk membuatku meninggalkan Rusia. Pada titik tertentu, aku menduga-duga apakah dia sungguh-sungguh akan kehilangan kesabarannya dan berhenti mencoba tawar-menawar?

Aku beralih tidur dan perasaan yang ku kenal dalam mimpi Adrian yang nyaman mengelilingiku. Sudah sangat lama sejak terakhir kali hal ini terjadi dan aku sebenarnya berpikir kalau dia mendengarkanku saat aku menyuruhnya menjauhiku sebelumnya. Tentu, aku selalu mengatakan hal itu padanya. Ini waktu jeda yang cukup lama tanpa adanya kunjungan, dan sebanyak aku membenci untuk mengakuinya, aku merindukannya. 

Latar yang dia pilih kali ini adalah bagian dari perabot Akademi, daerah berkayu dekat sebuah kolam. Semuanya terlihat hijau dan bermekaran, dan matahari menyinari kami. Aku menduga kreasi Adrian ini bertolak belakang dengan cuaca yang sebenarnya sedang terjadi di Montana, tapi seperti biasa, dia yang mengendalikan. Dia bisa melakukan apapun yang ia inginkan.

“Dhampir kecil,” katanya, tersenyum. “Sudah lama tidak berjumpa.”
“Kupikir kau sudah selesai denganku.”
“Tidak akan pernah berakhir denganmu,” jawabnya, memasukkan tangannya ke kantong dan berjalan ke arahku. “Meskipun ..., sebenarnya, aku tidak bermaksud untuk menjauh kali ini. Tapi, yah, aku harus memastikan kalau kau masih hidup.”
“Hidup dan baik-baik saja.”

Dia tersenyum padaku. Matahari membuat rambut cokelatnya berkilat, memberikan highlight chesnut-emas di rambutnya.

“Bagus. Kau terlihat lebih bagus daripada yang pernah kulihat selama ini,” matanya beralih dari wajahku ke bawah, ke arah tanganku yang sedang beristirahat di pangkuanku.

“Apa ini?” cincin Oksana terpasang disana, meskipun cincin itu tidak memiliki banyak hiasan, logamnya berkilat terang diterpa sinar matahari. Mimpi ini begitu aneh. Meskipun Adrian dan aku tidak bersama, namun jelas cincin itu mengikutiku masuk dan cukup menjaga kekuatannya sehingga bisa dirasakan Adrian.
“Sebuah Jimat. Berisikan roh.” seperti aku, ini jelas adalah sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Ekspresinya semakin penasaran.

“Dan benda ini bisa menyembuhkan, kan?” Ini melindungi auramu dari kegelapan.”
“Sedikit,” kataku, merasa tidak nyaman dengan pendapatnya. Aku mepeaskan cincin itu dan memasukkannnya ke dalam kantungku. “Hanya sementara. Aku bertemu dengan pengguna roh lain dan seorang dhampir yang juga dicium-bayangan.”

Keterkejutan bertambah di wajahnya,”Apa? Dimana?”

Aku mengigit bibirku dan menggelengkan kepala.
“Sial, Rose! Ini penemuan besar. Kau tahu bagaimana Lissa aku mencari pengguna sihir roh. Katakan padaku dimana mereka.”

“Tidak. Mungkin nanti. Aku tidak ingin kalian mengejarku.” Dari semua yang aku tahu, mereka sudah mengejarku, menggunakan Abe sebagai suruhan mereka.

Mata hijaunya berkilat marah. “Dengar, anggaplah untuk sementara waktu dunia tidak selalu berpusat padamu, oke? Ini tentang Lissa dan aku, tentang memahami sihir gila yang ada di dalam diri kami. Jika kau tahu orang-orang yang bisa membantu kami, kai juga harus tahu.”

“Mungkin nanyi,” aku mengulangi dengan dingin. “Aku akan segera pindah – kemudian aku akan mengatakannya padamu.”
“Mengapa selalu begitu sulit?”
“Karena kau menyukaiku yang seperti itu.”
“Pada saat ini? Tidak terlalu.” Ini satu dari komentar bercanda khas Adrian yang selalu ia buat, tapi baru saja, sesuatu tentang ini mengangguku. Untuk suatu alasan, aku mendapat perasaan yang sangat sangat kecil kalau aku tiba-tiba tidak lagi menarik untuknya.

“Cobalah sabar,” kataku padanya. “Aku yakin kalian berdua punya hal lain untuk dikerjakan. Dan Lissa terlihat cukup sibuk dengan Avery.” Kata-kata itu keluar tanpa bisa kucegah, dan sedikit rasa pahit dan iri yang kurasakan saat melihat mereka di malam yang lalu muncul dalam nada bicaraku.

“Adrian menaikkan alisnya. “Tuan dan nyonya, dia mengakuinya. Kau sudah memata-matai Lissa – aku sduah tahu itu.”

Aku membuang muka. “Aku hanya ingin tahu kalau dia juga masih hidup.” seolah aku bisa pergi kemanapun di dunia ini dan tidak tahu hal itu terjadi.

“Memang. Hidup dan sehat, sama sepertimu. Er .... lebih baik.” Adrian merengut. “Terkadang aku merasakan sesuatu yang aneh dari dirinya. Dia tidak terlihat benra-benar baik-baik saja atau auranya akan sedikit berkerlap-kerlip. Tidak pernah terjadi terlalu lama, tapi aku masih khawatir.” Seseuatu dalam suara Adrian melembut. “Avery juga mengkhawatirkannya, jadi Lissa berada di tangan yang baik. Avery cukup mengagumkan.”

Aku menatapnya pedas dan tajam. “Mengagumkan? Apa kau menyukainya atau sejenisnya?” aku tidak melupakan komentar Avery tentang meninggalkan pintu tidak terkunci untuk dirinya.

“Tentu saja aku menyukainya. Dia orang yang baik.”
“Bukan, maksudku suka. Bukan menyukai.”
“Oh, aku menegrti,” katanya, memutar matany. “Kami memutuskan pengertian ‘suka’ dalam tahapan sekolah dasar.”
“Kau tidak menjawab pertanyaanya.”
“Sebenarnya, seperti yang sudah kukatakan, dia adalah orang yang baik. Pintar. Mudah diajak bergaul. Cantik.”

Sesuatu dalam caranya saat mengatakan ‘cantik’ menggangguku. Aku memalingkan pandanganku lagi, memainkan nazar biru di leherku untuk menyembunyikan perasaanku. Adrian sudah menebaknya.

“Apa kau cemburu, dhampir kecil?”
Aku menatap balik ke arahnya. “Tidak. Jika aku bisa cemburu padamu, aku mungkin akan menjadi gila dari dulu, memikirkan semua perempuan yang kau permainkan.”

“Avery bukan jenis perempuan yang bisa dipermainkan.” Lagi, aku mendengar rasa sayang itu dalam suaranya, pengibaratan itu. Ini seharusnya tidak menggangguku. Harusnya aku senang kalau ia tertarik degan wanita lain. Dari semua itu, aku sduah mencoba meyakinkanya untuk meninggalkanku sendirian untuk waktu yang lama. Satu dari bagian syarat darinya ketika memberikanku uang untuk perjalanan ini adalah membuatku berjanji untuk memberikannya satu kali kesempatan yang adil untuk berpacaran dengannya ketika – dan jika – aku kembali ke Montana. Jika dia sudah bersama Avery, itu akan mejadi satu hal yang tidak perlu ku khawatirkan lagi. 

Dan sejujurnya, jika dia adalah gadis lain selain Avery, aku mungkin tidak akan keberatan. Tapi entah bagaimana, pikiran tentang bagimana ia telah memikat Adrian rasanya sudah cukup keterlaluan. Apakah sudah tidak cukup buruk bagiku setelah kehilangan Lissa? Bagaimana mungkin satu wanita dengan sangat mudah mengambil posisiku? Dia mencuri sahabat baikku, dan sekarang pria yang bersumpah dan berlutut kalau aku adalah satu-satunya yang dia inginkan dengan serius sudah berpikir untuk menggantikan aku.

Kau sudah menjadi orang yang munafik, sebuah suara jaht berbicara di dalam kepalaku. Mengapa kau harus merasa ada yang salah ketika ada seseorang yang datang dalam kehidupan mereka? Kaulah yang membuang mereka. Baik Lissa maupun Adrian. Mereka punya hak untuk melanjutkan hidup.

Aku berdiri dengan marah. “Dengar, aku sudah cukup berbicara padamu malam ini. Maukah kau membiarkanku pergi dari mimpi ini? Aku tidak akan mengatakan padamu dimana diriku berada. Dan aku tidak tertarik untuk mendengarkan tentang bagaiman mempesonanya Avery dan bagaimana ia lebih baik dari diriku.”

“Avery tidak akan pernah bertindak seperti anak kecil,” katanya. “Dia tidak akan begitu menyakit hati seseorang yang cukup peduli untuk memeriksa keadaannya. Dia tidak akan menolakku untuk memperoleh kesempatanku untuk belajar lebih banyak tentang sihirku karena dia menjadi gila kalau-kalai seseorang akan mengacaukan usaha gilanya untuk mengejar kematian pacarnya.”

“Jangan sebut aku anak kecil,” aku balik berteriak. “Kau seegois biasanya. Ini selalu tentang dirimu – bahkan dalam mimpi ini sekalipun. Kau memerangkapku disini meski hal ini bertentangan dengan keinginanku, apakah aku setuju atau tidak, karena ini menyenangkan buatmu.”

“Baik,” katanya, suaranya dingin. “Aku akan mengakhiri semua ini. dan aku akan mengakhir semua yang ada diantara kita. Aku tidak akan kembali lagi.”
“Bagus. Kuharap kau serius dengan ucapanmu itu kali ini.”

Mata hijaunya adalah hal terakhir yang aku lihat sebelum aku terbangun di ranjangku sendiri. Aku duduk, terengah-engah. Hatiku terasa seperti hancur, dan aku hampir berpikir kalau aku mungkin akan menangis. Adrian benar – aku bertingakh seperti anak kecil. Aku menyakitinya ketika ia tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Sekalipun begitu ... aku tidak mampu untuk menguasai diriku. Aku kehilangan Lissa. Aku bahkan kehilangan Adrian. dan sekaran orang laing tangah mengambil tempatku, seseorang yang tidak akan melarikan diri seperti diriki.

Aku tidak akan kembali.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa dia sungguh-sungguh kali ini. 

You May Also Like

4 komentar

  1. ditunggu chapter selanjutnya ya...
    makasih banget...
    i love your blog
    so cool

    ReplyDelete
  2. Kog lama nggak posting lagi, mbak? lanjut Spirit Bound dong, mbak.. Kan Blood Promise udah diterbitin di Indo.. Sankyu.. :))

    ReplyDelete
  3. ^.^
    mianhe....Lama vakum nulisnya. Tapi cek hari sabtu atau senin yah... Sprit Bound cp 1 akan dipost.

    ReplyDelete