Spirit Bound ~ Bahasa Indonesia (Chapter 1)

by - 10:27 AM


A DA SEBUAH PERBEDAAN BESAR ANTARA surat ancaman kematian dengan surat cinta – meskipun orang yang menulis surat ancaman kematian ini masih menyatakan kalau ia sesungguhnya mencintaimu. Tentu saja, mempertimbangkan satu kali upaya pembunuhan yang pernah kucoba lakukan kepada orang yang kucintai, mungkin aku tidak berhak untuk menghakiminya.

Surat hari ini sangatlah tepat waktu, bukanlah sesuatu yang harusnya tidak terlalu kuharapkan. Aku sudah membacanya sebanyak empat kali sejauh ini, dan meskipun aku akan terlambat, aku tidak bisa menolak membaca untuk yang kelima kalinya.

Roseku tersayang, 
Satu dari beberapa sisi yang tidak menguntungkan dari menjadi yang dibangkitkan adalah kami tidak lagi membutuhkan tidur; karena itulah kami juga tidak lagi bermimpi. Ini memalukan, karena jika aku bisa tidur, aku tahu aku akan memimpikanmu. Aku akan memimpikan bagaimana aroma tubuhmu dan bagaimana rambutmu yang hitam terasa seperti sutra diantara jemariku. Aku akan memimpikan bagimana halusnya kulitmu dan buasnya bibirmu saat kita berciuman.
Tanpa mimpi-mimpi itu, aku harus mengisi diriku dengan imajinasiku sendiri – yang rasanya hampir sama menyenangkannya. Aku bisa membayangkan semua hal itu dengan sempurna, sesempurna saat semua ini terjadi ketika aku mengambil hidupmu dari dunia ini. Sesuatu yang kusesali untuk dilakukan, tapi kau membuatku tidak lagi meiliki pilihan. Penolakkanmu untuk bergabung denganku dalam kehidupan abadi dan cinta tidak meninggalkan jalan lain, dan aku tidak bisa mengizinkan seseorang sebahaya dirimu untuk hidup. Lagipula, meskipun aku memaksamu untuk bangkit, kau sekarang terlalu banyak memiliki musuh diantara para Strigoi yang satu diantaranya akan membunuhmu. Jika kau harus mati, maka kematianmu haruslah ditanganku. Bukan orang lain. Meskipun demikian, aku harap kau akan bertindak hebat saat kau menjalani ujianmu – bukan karena kau perlu keberuntungan. Jika mereka benar-benar membuatmu melawan mereka, itu hanya akan membuang waktu setiap orang. Kau yang terbaik dalam tim, dan mulai malam ini kau akan mengenakan tanda janjimu. Tentu saja, itu berarti kau akan menjadi lebih menantang saat kita bertemu lagi – yang nantinya akan sangat kunikmati.

Dan kita akan bertemu lagi. Dengan kelulusan, kau akan keluar dari Akademi, dan sekali kau berada di luar ruangan, aku akan menemukanmu. Tidak ada satu tempat pun di dunia ini yang bisa menyembunyikanmu dariku. Aku mengawasimu.

Dengan cinta,

Dimitri

Sekalipun dalam “doanya yang hangat”, aku tidak menemukan surat ini bisa mengispirasiku saat aku melemparkannya ke tempat tidur dan dengan mengantuk meninggalkan ruangan. Aku mencoba untuk tidak membiarkan kata-katanya merasuki diriku, meskipun sangat tidak mungkin untuk tidak takut terhadap hal seperti itu. Tidak ada satu pun tempat di dunia ini yang bisa menyembunyikanmu dariku. 

Aku tidak meragukannya. Aku sudah tahu Dimitri memiliki mata-mata. Sejak mantan instruktur-sekaligus kekasihku itu telah berubah menjadi sesosok iblis, vampir yang tidak bisa mati, dia juga menjadi semacam pemimpin di antara mereka - sesuatu yang merupakan hasil dari campur tanganku ketika aku membunuh mantan bosnya, Aku menduga banyak dari mata-matanya adalah manusia, mengintaiku saat aku melangkah keluar dari batas sekolahku. Tidak ada Strigoi yang bisa tinggal mengintai selama 24 jam. Manusia bisa, dan aku baru-baru saja mempelajari kalau sebagian manusia bersedia untuk mengabdi kepada Strigoi dengan imbalan dijanjikan akan diubah suatu hari nanti. Manusia-manusia itu menganggap hidup abadi itu setimpal dengan menjual jiwa mereka dan membunuh manusia lain untuk tetap bisa bertahan hidup. Manusia-manusia seperti itu membuatku mual.

Tapi bukan manusia-manusia itu yang membuat langkah ku terputus-putus ketika aku berjalan melalui rerumputan yang berubah warna menjadi hijau cerah dengan sentuhan musim panas. Dimitrilah yang bisa melakukannya. Selalu Dimitri. Dimitri, lelaki yang kucintai. Dimitri, sesosok Strigoi yang ingin kuselamatkan. Dimitri, seekor monster yang harus kubunuh. Cinta yang kami bagi selalu membara dalam tubuhku, tidak peduli seberapa sering aku mengingatkan diriku untuk melupakannya, tidak peduli seberapa banyak dunia berpikir kalau aku harus melupakannya. Dia selalu bersamaku, selalu dalam pikiranku, selalu membuatku menanyakan diriku sendiri. 

“Kau terlihat seolah siap menghadapi satu pasukan tempur.” Aku mengalihkan pikiran kelamku. Aku terlalu dalam memikirkan Dimitri dan suratnya saat aku berjalan menyebrangi kampus, terlupa pada dunia, dan tidak menyadari keberadaan sahabatku, Lissa, mensejajarkan langkahnya denganku, sebuah senyuman menggoda di wajahnya. Sangat jarang sekali ia menangkap basah aku yang terkejut karena dirinya, karena kami berbagi ikatan batin, yang selalu membuatku waspada dengan kedatangannya dan perasaannya. Pikiranku pastilah sedang terganggu sehingga tidak menyadari kehadirannya, dan jika pernah ada sebuah gangguan yang terjadi dalam hidupku, itu pastilah seseorang yang ingin membunuhku.

Aku memberikan Lissa sebuah senyuman yang kuharap bisa meyakinkan dirinya. Dia sudah tahu apa yang telah terjadi pada Dimitri dan bagaimana dia menunggu untuk membunuhku sekarang setelah aku pernah gagal – membunuhnya. Meskipun begitu, surat-surat yang aku terima dari Dimitri setiap minggu membuat Lissa khawatir, dan dia sudah cukup berat menghadapi hidupnya sendiri tanpa ditambah lagi dengan penguntitku-yang-tidak-bisa-mati dalam daftarnya.

“Aku memang sedang bersiap menghadapi satu pasukan,” aku menunjuk. Malam masih belum larut, tapi musim panas yang terlambat masih menemukan sang matahari di atas langit Montana, memandikan kami dengan cahaya emas saat kami berjalan. Aku suka ini, tapi sebagai Moroi – seorang vampir hidup yang damai – Lissa biasanya menjadi lemah dan tidak nyaman dengan semua ini.

Dia tertawa dan menyampirkan rambut pirang-platinanya ke bahunya. Matahari menyinari warna pucat menjadi warna cemerlang sang bidadari.

“Kurasa. Aku tidak berpikir kau akan menjadi sangat khawatir.” Aku bisa memahami alasannya. Bahkan Dimitri sudah pernah mengatakan kalau hal ini hanya menghabiskan waktuku. Tapi tetap saja, aku menghilang ke Rusia untuk mencarinya dan telah bertemu Strigoi asli – membunuh sebagian dari mareka sendirian. Mungkin aku tidak seharusnya takut dengan test yang akan segera kuhadapi ini, namun semua keriuhan dan harapan mendadak menekan diriku. Detak jantungku meningkat. Bagaimana jika aku tidak bisa melakukannya? Bagaimana jika aku ternyata tidak sebagus yang aku kira? Para penjaga yang akan menantangku disini mungkin bukanlah Strigoi yang sebenarnya, tapi mereka semua terlatih dan sudah pernah bertarung lebih lama dari diriku. Kesombongan bisa membawaku dalam banyak masalah, dan jika aku gagal, aku akan melakukannya di depan semua orang yang peduli padaku. Semua orang yang percaya padaku. Satu hal yang juga menjadi pikiranku.

“Aku khawatir kalau nilai tes ini akan berdampak pada masa depanku.” kataku. Itu yang sebenarnya. Ujian adalah tes terakhir untuk seorang novis pengawal seperti aku. Mereka yakin kalau aku bisa lulus dari Akademi Vladimir dan mengambil posisiku dengan para penjaga yang sebenarnya yang melindungi Moroi dari Strigoi. Ujiannya benar-benar mempengaruhi pilihan Moroi mana yang akan ditugaskan untuk para pengawal.

Melalui ikatan batin kami, aku merasakan rasa kasihan Lissa – dan kekhawatirannya.
“Alberta pikir kalau kita punya kemungkinan besar untuk bisa tetap bersama – kalau kau masih akan menjadi pengawalku.”

Aku menyeringai. “Kurasa Alberta mengatakan kalau ia ingin menahanku di sekolah.” Aku keluar dari sekolah untuk memburu Dimitri beberapa bulan yang lalu dan kemudian kembali – sesuatu yang tidak terlihat bagus dalam catatan akademisku. Ada juga kenyataan kecil kalau sang ratu Moroi, Tatiana, membenciku dan mungkin akan melakukan segala cara yang ia bisa untuk mempengaruhi penugasanku – tapi itu cerita lain.

“Kurasa Alberta tahu kalau satu-satunya cara mereka untuk melindungimu adalah jika aku merupakan pengawal terakhir di bumi ini. Dan saat itu tiba, rintanganku sudah semakin sedikit.”

Dihadapan kami, gemuruh suara kerumunan semakin nyaring. Satu dari lapangan olahraga sekolah sudah berubah menjadi sebuah arena yang sama dengan sesuatu yang berasal dari zaman gladiator Roma. Tempat duduk di stadion sudah di bangun, diubah dari tempat duduk kayu sederhana menjadi bangku dengan sofa mewah dan dengan tenda untuk melindungi Moroi dari matahari. Bendera-bendera mengelilingi lapangan, warna mereka yang cerah terlihat dari sini saat mereka melambai. Aku belum melihatnya, tapi aku sudah tahu bahwa ada sejenis barak yang dibangun di dekat pintu masuk stadion, tempat dimana para novis menunggu, gelisah. Lapangan sendiri sudah dirubah menjadi sebuah rangkaian rintangan tes berbahaya. Dan dari suara semangat yang memekakan telinga, sebagian besar sudah berada disana untuk menyaksikan acara ini.

“Harapanku tidak akan menyerah,” kata Lissa. Melalui ikatan kami, aku tahu dia bersungguh-sungguh. Itulah satu hal yang mengagumkan dari dirinya – sebuah kesetiaan untuk percaya dan rasa optimis yang ia berikan di saat-saat cobaan terburuk. Sangat bertolak belakang dengan sikap sinisku. “Dan aku punya sesuatu yang bisa membantumu hari ini.”

Dia mendekatiku kemudian berhenti dan meraih sesuatu ke dalam kantung jeans nya, mengambil sebuah cincin perak kecil dengan batu-batu kecil yang tersebar di sekitarnya sehingga terlihat seperti peridot. Aku tidak butuh ikatan apapun untuk mengetahui apa yang ia berikan.

“Oh Liss... Aku tidak tahu. Aku tidak ingin hal semacam , um, keuntungan yang tidak adil.” Lissa memutar bola matanya.

“Itu bukan masalah, dan kau tahu itu. Yang ini aman, aku bersumpah.”

Cincin yang ia berikan adalah sebuah jimat, yang telah dimasukkan tipe sihir langka yang ia punya. Semua Moroi mengontrol satu dari lima elemen: tanah, udara, air, atau roh. Roh adalah elemen yang paling langka – sangat langka, yang sudah terlupakan selama berabad-abad. Lalu kemudian Lissa dan beberapa orang muncul dengan kemampuan ini. Tidak seperti elemen yang lain, yang lebih condong bersifat alami dan fisik, roh terikat dengan pikiran dan semua fenomena gaib. Tidak satupun orang mereka yang benar-benar bisa memahaminya.

Membuat jimat dengan roh adalah sesuatu yang baru-baru ini Lissa coba – dan dia tidak terlalu bagus dalam hal ini. Kemampuan roh terbaiknya adalah menyembuhkan, jadi dia terus mencoba untuk membuat jimat penyembuh. Yang terakhir adalah sebuah gelang yang tergantung di tanganku.

“Yang satu ini bekerja. Hanya sedikit, tapi benda ini akan menolong untuk menjauhkan kegelapan selama tes.” Dia berbicara dengan ringan, tapi kami berdua tahu keseriusan dari makna kata-katanya.


Dengan semua anugerah yang diberikan sihir roh, maka ada harga yang harus dibayarkan: kegelapan yang ditunjukkan sekarang dengan kemarahan dan kebingungan, dan bahkan terkadang mengarah ke arah kegilaan. Kegelapan yang terkadang mengalir kepadaku melalui ikatan kami. Lissa dan aku pernah membicarakan tentang jimat dan kekuatan penyembuhnya, kami bisa melawan ini semua. Yang juga merupakan sesuatu yang harus kami kuasai.

Aku memberinya senyuman yang lemah, bergerak demi menanggapi perhatiannya, dan menerima cincin itu. Benda ini tidak membakar tanganku yang berarti tanda-tanda yang menjanjikan. Cincin ini kecil dan hanya muat untuk jari kelingkingku. Aku tidak merasakaan hal apapun saat aku memakainya. Terkadang hal itu terjadi dengan jimat penyembuh. Atau ini berarti cincin ini benar-benar tidak ada gunanya. Sepanjang ini tidak ada hal yang menyakiti terjadi.

“Trims,” kataku. Aku merasa kebahagian menyapu diriku melalui pikirannya dan kami melanjutkan perjalanan kami.

Aku mengangkat tanganku, mengagumi bagaimana batu-batu hijau berkerlap-kerlip. Perhiasan bukanlah ide yang bagus untuk dilibatkan dalam aktivitas fisik yang akan kuhadapi, tapi aku bisa memakai sarung tangan untuk menutupinya.

“Sulit rasanya mempercayai setelah semua ini, kita akan berakhir disini dan akan segera keluar ke dunia nyata,” aku merenung terlalu keras, tidak terlalu mempertimbangkan kata-kataku sendiri.

Di sampingku, tubuh Lissa mengeras, dan aku mendadak menyesali ucapanku. ‘Keluar ke dunia nyata’ maksudnya Lissa dan aku akan berada di bawah kendali sebuah tugas yang pernah dia -- dengan berat hati – janjikan untuk menolongku beberapa bulan yang lalu. 

Saat di Siberia, aku mempelajari kalau ada kemungkinan untuk mengembalikan Dimitri menjadi seorang dhampir lagi seperti aku. Kesempatannya kecil – mungkin hanya sebuah kebohongan – dan mempertimbangkan bagaimana dia mencoba untuk membunuhku, aku tidak memiliki ilusi kalau aku memiliki pilihan lain selain membunuh dia jika kematian menimpanya atau diriku. Tapi jika ada sebuah cara yang memungkinkan diriku untuk menyelamatkannya sebelum hal tersebut terjadi, aku harus menemukannya.

Sayangnya, satu-satunya cara bagi kami untuk membuat keajaiban ini menjadi nyata harus lah melalui tindak kriminal. Tidak hanya melalui orang kriminal juga: Victor Dashkov, seorang Moroi bangsawan yang telah menyiksa Lissa dan melakukan segala tindak kekejaman yang membuat kehidupan kami terasa seperti di neraka. Keadilan sudah ditegakkan dan Victor telah terkunci jauh di penjara, namun sebenarnya merupakan hal yang rumit. Kami menyadari sepanjang keberadaannya yang ditakdirkan untuk hidup di belakang jeruji tahanan, dia merasa tidak memliki alasan untuk berbagi apa yang dia tahu tentang saudara laki-laki tirinya –seseorang yang pernah diduga menyelamatkan seorang Strigoi. Aku memutuskan – mungkin secara tidak logis – kalau Victor mungkin akan menyerahkan informasi itu jika kami menawarkan kepadanya satu hal yang tidak bisa diberikan orang lain: kebebasan. 

Ide ini bukanlah sesuatu yang konyol untuk bisa dilakukan dengan banyak alasan. Pertama, aku tidak yakin kalau rencana itu bisa berhasil. Hal ini sejenis sebuah rencana yang besar. Kedua, aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara mementaskan adegan sebuah pembobolan penjara, bahkan kami tidak tahu dimana penjaranya. Dan terakhir, sebuah fakta kalau kami harus melepaskan musuh abadi kami. 

Hal in cukup menghancurkanku, membiarkan Lissa sendirian. Apalagi ada banyak masalah yang dihadirkan ide ini untuknya – dan percayai aku, memang begitu – dia telah bersumpah akan menolongku.

Aku sudah menawarkan untuk membebaskannya dari sumpahnya itu berlusin-lusin kali di beberapa bulan terakhir ini, tapi dia tetap bersikeras. Tentu saja, mempertimbangkan kami bahkan tidak memiliki cara untuk menemukan penjaranya, sumpahnya mungkin tidak akan menjadi masalah pada akhirnya.

Aku mencoba mengisi keheningan yang canggung diantara kami, langsung menjelaskan kalau aku bersungguh-sungguh untuk bisa merayakan ulang tahunnya dengan gaya minggu depan. 

Usahaku itu diinterupsi oleh Stan, satu dari instruktur lamaku.
“Hathaway!” Dia menyalak, datang dari arah lapangan. “Senang melihat kau bergabung dengan kami. Masuk kau sekarang!”

Pikiran tentang Victor menghilang dari pikiran Lissa. Lissa memberikan pelukan kilat untukku.

“Semoga berhasil,” dia berbisik. “Tapi kamu tidak memerlukannya.”

Ekspresi Stan mengatakan padaku kalau ucapan perpisahan-sepuluh-detik ini lebih lama dari kenyataannya. Aku menyeringai pada Lissa sebagai ucapan terimakasih, dan kemudian dia pergi untuk mencari teman-teman kami yang berada di tempat penonton saat aku mengekori Stan.


“Kau beruntung karena tidak menjadi salah satu yang mendapat giliran pertama,” dia menggeram. “Orang-orang bahkan membuat taruhan apakah kau muncul atau tidak.”
“Benarkah?” aku bertanya senang. “Rintangan apa yang ada disana? Karena aku bisa saja merubah pikiranku dan mengambil uang taruhanku. Untuk menambah sedikit uang saku.”

Matanya yang tajam mengarah padaku, memperingatkan kalau tidak ada lagi kata-kata yang dibutuhkan saat kami memasuki area tempat menunggu untuk ke lapangan, berseberangan dari tempat penonton. Hal ini selalu membuatku terkagum-kagum di masa lalu tentang bagaimana jerih upaya untuk bisa sampai ke ujian ini, aku rasa kagumku tidak berkurang sekarang saat aku menatapnya lebih dekat. 

Barak tempat para novis menunggu dibangun dari kayu, lengkap dengan atapnya. Bentuknya terlihat seolah merupakan bagian dari stadion in sejak lama. Bangunan ini dibangun dengan sangat cepat and juga akan dengan sangat cepat di hancurkan sesaat setelah ujian ini selesai. Sebuah pintu masuk seluas tiga orang berjajar memberikan celah untuk melihat ke lapangan, dimana satu dari teman sekelasku tengah menunggu dengan cemas, menunggu namanya dipanggil. Segala rintangan sudah diatur disini, tantangan tes keseimbangan dan koordinasi saat tengah bertarung dan menghindari para pengawal dewasa yang bisa saja bersembunyi di sekitar benda-benda dan sudut. Dinding kayu telah dibangun di sisi lapangan, menciptakan jalan-jalan yang memusingkan. Jaring-jaring dan panggung yang bergoyang-goyang menggantung di sepanjang area, dirancang untuk mengetes seberapa baik kami bertarung di bawah kondisi yang sulit.

Beberapa novis lain berkerumun di pintu masuk, berharap mendapat keuntungan dengan menonton yang sudah lebih dulu masuk dari mereka. Tidak termasuk aku. Aku akan masuk kesana dengan kondisi buta, yakin untuk menghadapi apa pun yang mereka lempar padaku. Mempelajari lapangan sekarang hanya akan membuatku terlalu banyak berpikir dan panik. Tenang adalah satu-satunya hal yang aku butuhkan sekarang. 

Jadi aku bersandar di satu dari dinding barak dan memperhatikan sekelilingku. Kelihatannya aku benar-benar akan muncul paling terakhir dan aku menduga-duga berapa banyak orang yang kehilangan uangnya karena bertaruh atas kehadiranku. Beberapa teman sekelasku berbisik-bisik dalam kelompok. Beberapa sedang melakukan latihan pemanasan dan perenggangan.

Yang lain berdiri dengan para instruktur yang menjadi mentor. Guru-guru itu berbicara dengan sungguh-sungguh kepada murid-murid mereka, memberikan kata-kata nasihat terakhir. aku terus mendengar kata fokus dan tenang.

Melihat para instruktur itu membuat jantungku sesak. Begitulah yang kubayangkan dulu tentang hari ini. Aku membayangkan Dimitri dan aku berdiri bersama, bersamanya yang terus mengatakan padaku untuk menganggap hal ini serius dan tidak kehilangan ketenanganku saat aku berada di lapangan. Alberta telah memberikan latihan yang lumayan untukku sejak aku kembali dari Rusia, tapi sebagai kapten, dia berada di lapangan sekarang, sibuk dengan segala macam hal yang berbau tanggung jawab. Dia tidak punya waktu untuk datang kesini dan menggenggam tanganku. 

Teman-temanku yang mungkin menawarkan kehangatan – Eddie, Meredith, dan yang lainnya – tengah berpegangan dalam ketakutan mereka bersama. Aku sendirian.

Tanpa Lissa atau dimitri – atau, siapapun – aku merasakan rasa sakit yang mengejutkan dari kesendirian yang membanjiri tubuhku. Ini tidak benar. Aku tidak seharusnya sendirian. Dimitri harusnya disini bersamaku. Itulah yang seharusnya terjadi. Aku menutup mataku, membiarkan diriku sendiri berpura-pura kalau dia ada disini, hanya beberapa inci saat kami berbicara.

“Jangan khawatir, komrad. Aku bisa melakukan semua ini dengan menutup mata. Hei, mungkin aku benar-benar bisa melakukannya. Apa kau punya sesuatu yang bisa aku gunakan? Jika kau baik padaku, aku bahkan akan membiarkanmu mengikatkannya sendiri padaku.” Mengingat fantasi ini terjadi setelah kami tidur bersama, ada kemungkinan besar dia mau membantu membukakan penutup mataku – daripada hal yang lain.

Aku bisa dengan jelas membayangkan gelengan jengkel kepalanya yang kupuroleh oleh ulahku. “Rose, aku bersumpah, terkadang setiap hari bersamamu terasa seperti ujian personal bagi diriku sendiri.”

Tapi aku tahu dia tersenyum dan ada rasa bangga yang ia perlihatkan serta dorongan yang ia berikan padaku saat aku melangkah ke lapangan adalah satu-satunya hal yang aku perlukan untuk melalui ujian itu –

“Apa kau sedang meditasi?”
Aku membuka mataku, heran dengan suara itu. “Ibu? Apa yang kau lakukan disini?”

Ibuku, Janine Hathway, berdiri di depanku. Dia hanya beberapa inci lebih pendek dariku tapi sudah cukup memiliki pengalaman bertarung untuk seseorang yang ukurannya dua kali lipat dari badanku. Tampilan berbahaya dari wajah kecokelatannya berani mengahadapi siapapun yang membawa tantangan. Dia memberikanku senyuman masam dan meletakkan satu tangannya ke pinggulnya.

“Sejujurnya, apa kau merasa aku tidak akan datang melihatmu?”
“Aku tidak tahu,” aku mengakui, merasa sedikit bersalah karena meragukan kehadirannya. Dia dan aku tidak terlalu sering berhubungan selama beberapa tahun, dan tes ini adalah kesempatan terbaru kami --- sebagian besar merupakan kesempatan yang buruk – untuk memulai membangun kembali hubungan kami. 

Selama sebagian besar hidupku, aku masih tidak tahu bagaimana perasaanku mengenai dirinya. Aku terombang-ambing diantara gadis kecil yang membutuhkan kehadirannya sebagi seorang ibu yang selalu tidak ada dan kemarahan seorang remaja karena merasa dibuang. Aku juga tidak benar-benar yakin apakah aku sudah memaafkannya pada saat secara ‘tidak sengaja’ ia memukulku dalam sebuah pertarungan pura-pura. 

“Aku pikir kau punya, kau tahu kan, banyak hal penting yang harus dilakukan.”
“Tidak mungkin aku melewatkan acara ini.” Dia mencondongkan kepalanya ke arah barisan penonton, membuat rambut pirang keritingnya bergoyang. “Begitu juga ayahmu.”
“APA?”
Aku segera menuju ke arah pintu masuk dan mengintip ke arah lapangan. Pandanganku ke arah penonton tidaklah sangat bagus, terima kasih kepada semua rintangan di lapangan, tapi cukup baik. Disanalah dia: Abe Mazur. Dia mudah terlihat, dengan janggut dan kumis hitamnya, sebagus skarf rajut hijau jamrud berpadu padan dengan kemejanya. Aku bahkan bisa melihat kilauan dari anting emasnya. Dia mungkin akan meleleh dengan hawa panas disini, tapi aku menduga dia membutuhkan lebih dari sekedar keringat untuk menjinakkan selera dandanan nya yang mewah. 

Jika hubunganku dengan ibuku cukup sederhana, hubunganku dengan ayahku kenyataannya tidak pernah ada. Aku pernah bertemu dengannya di bulan Mei dan bahkan setelah itu aku tidak tahu, tidak sampai aku kembali dan mengetahui kalau aku adalah putrinya.
Semua dhampir memiliki satu orang tua Moroi, dan dia adalah orang tuaku. Aku masih tidak yakin bagaimana perasaanku padanya. Kebanyakan dari latar belakangnya masih merupakan misteri, tapi ada banyak gosip yang mengatakan kalau ia terlibat bisnis ilegal. Orang-orang juga bertingkah seolah dia adalah tipe pematah lutut seseorang. Di Rusia, mereka memanggilnya Zmey: sang ular.

Saat aku menatapnya dengan heran, ibuku berjalan kesampingku.
“Dia akan senang kau melakukannya tepat waktu,” katanya. “Dia bertaruh banyak kalau kau akan muncul. Dia bertaruh uang untukmu, jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik.”

Aku mengerang “Tentu saja. Tentu saja dia akan menjadi bandar dari semua itu. Harusnya aku sudah tahu sesegera –“ rahangku terasa jatuh. “Apa dia sedang berbicara dengan Adrian?”

Yup. Seseorang yang sedang duduk di samping Abe, Adrian Ivashkov – pacar lebih atau kurangku. Adrian adalah seorang Royal bangsawan – dan pengguna sihir roh seperti Lissa. Dia tergila-gila padaku (Dan seringnya hanya gila) sejak pertama kali kami bertemu, tapi mataku hanya untuk Dimitri. Setelah kegagalanku di Rusia, aku kembali dan berjanji memberikan Adrian sebuah kesempatan. Yang mengagetkanku, segala hal ... berjalan dengan baik diantara kami. Bahkan sangat baik. Dia telah menuliskan sebuah proposal mengapa mengencaninya terdengar sebagai keputusan. Proposal itu termasuk hal-hal seperti ‘aku akan berhenti merokok, kecuali aku benar-benar, sungguh-sungguh membutuhkannya’ dan ‘aku akan memberikan kejutan romantis setiap minggu, seperti: sebuah piknik mendadak, mawar-mawar, atau sebuah perjalanan ke Paris – tapi bukan satu dari beberapa hal tersebut karena mereka tidak lagi merupakan kejutan sekarang.

Bersamanya tidak seperti saat aku bersama Dimitri, tapi kemudian, aku menduga kalau tidak ada dua hubungan yang bisa-bisa terasa sama. Ada dua laki-laki berbeda. Aku masih terbangun sepanjang waktu, kesakitan atas hilangnya Dimitri dan cinta kami. Aku menyikasa diriku sendiri atas kegagalanku membunuhnya di Siberia dan membebaskannya dari kondisi tidak-bisa-mati. Meskipun begitu, rasa kehilangan itu tidak mengartikan kalau kehidupan romantisku telah berakhir – terkadang aku membutuhkan waktu untuk menerimanya. 

Melupakan sangatlah sulit, tapi Adrian telah membuatku bahagia. Dan untuk sekarang, semua yang ia berikan cukup bagiku. Tapi itu bukan berarti aku ingin dia bersantai-santai dengan ayah mafiaku juga.

“Dia itu pengaruh buruk!” Aku protes.
Ibuku mendengus. “Aku ragu Adrian akan bisa banyak mempengaruhi Abe.”
“Bukan Adrian! ABE! Adrian sedang belajar berperilaku baik. Abe akan mengacaukan semaunya.” Bersamaan dengan merokok, Adrian sudah bersumpah untuk berhenti minum dan semua sifat buruk lain dalam proposal berkencannya. Aku mengerling ke arah Adrian dan Abe di seberang padatnya penonton, mencoba menduga topik apa yang bisa menjadi sangat menarik.

“Apa yang sedang mereka bicarakan?”
“Kurasa topiknya paling tidak masalah-masalahmu sekarang.” Janine Hathway bukan siapa-siapa dalan hal yang tidak berhubungan dengan yang berbau praktek. “Jangan terlalu mengkhawatirkan mereka dan lebih khawatirkan ujiannya.”
“Apa kau rasa mereka sedang membicarakan aku?”
“Rose!” Ibuku memberikan pukulan ringan dilenganku dan aku kembali menarik fokus mataku ke arahnya.
“Kau harus menganggap hal ini seirus. Tetaplah tenang dan fokusmu jangan teralihkan.”

Kata-katanya sangat mirip dengan apa yang dikatakan Dimitri dalam imajinasiku, membuat sebuah senyuman perlahan muncul di wajahku. Aku tidak sendirian disini ternyata.

“Apa yang lucu?” dia bertanya khawatir.
“Bukan apa-apa,” kataku, memeluknya. Dia menegang awalnya dan kemudian badanya terasa santai, sebenarnya memelukku balik sebentar dan melepaskannya.
“Aku senang kau ada disini.”

Ibuku bukanlah seseorang yang bisa menunjukkan rasa kasih sayangnya dan aku mendapatkannya lengah. “Baiklah,” katanya, jelas sekali terlihat bingung, “Aku sudah bilang padamu kalau aku tidak akan melewatkannya.”

Aku melirik kembali ke arah penonton. “Abe, sebaliknya, aku tidak terlalu yakin.” Atau ... tunggu. Sebuah ide aneh datang padaku. Tidak, sebenarnya tidak terlalu aneh. Curang atau tidak, Abe memiliki koneksi – seseorang yang cukup berkuasa untuk menyelipkan sebuah pesan ke Victor Dashkov di penjara. 

Abe adalah seseorang yang pernah dimintai informasi tentang Robert Doru, Saudara laki-laki Victor yang menguasai roh, sebagai kebaikan hatinya untukku. Ketika Victor sudah mengirim balik suratnya dan mengatakan kalau dia tidak memiliki alasan untuk menolong Abe untuk apa yang ia butuhkan, aku dengan cepat mengubah pemikiran dari meminta bantuan ayaku dan melompat ke ide membobol penjara. Tapi sekarang –

“Rosemarie Hathaway!”
Alberta yang memanggilku, suaranya memekik dan kencang. Terdengar seperti terompet, sebuah panggilan untuk bertarung. Semua pikiran tentang Abe dan Adrian – dan ya, bahkan Dimitri – menghilang dari pikiranku. Kurasa ibuku mengharapkan agar aku berhasil, tapi kata-kata tepatnya sudah tidak terdengar lagi saat aku berdiri menghadapi Alberta dan lapangan. Gelombang adrenalin menggelora dalam diriku. Semua perhatianku sudah berada pada apa yang ditempatkan di depanku: Ujian yang akhirnya akan menjadikanku seorang pengawal.

Diterjemahkan langsung dari Novel Vampir Academy: Spirit Bound karya Richelle Mead oleh Noor Saadah. This is truly  fanmade and  no profit work.

You May Also Like

6 komentar

  1. semangat .. ^^

    thank you translate'an nya ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Anonim,

      Sama-sama :) Terima kasih sudah mampir di blog ini juga yaa.

      Hehehe

      Delete
  2. Baru baca, telat bgt ! Haha.. thanks buat translatenya. Membantu bgt buat yg bhsa inggrisnya paspasan kya aku. ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Anonim,

      You're welcome :) aku juga sambil belajar kok. Hehehe

      Terima kasih sudah membaca blog ini ;)

      Delete
  3. hai..terima kasih sdh translate. anyway, spirit bound ini mmg ga masuk gramedia ya? aku cari yang versi bahasa indonesia nya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Mesayu!
      Terima kasih juga sudah membaca terjemahan ini. Semua seri VA sudah tidak lagi dietrbitkan karena permasalahan copyright percetakan dengan percetakan terdahulunya. Jadi tidak masuk Gramedia juga.

      Delete