Spirit Bound ~ Bahasa Indonesia (Chapter 3) part 1

by - 3:12 PM

BEBERAPA HARI KEMUDIAN terasa aneh. Aku dan para novis yang lain mungkin memang mengalami acara kelulusan yang megah, tapi bukan hanya kami satu-satunya yang lulus dari St. Vladimir. Para Moroi juga mendapatkan acara kelulusan mereka, dan segera dipenuhi para pengunjung.

Kemudian, hampir secepat kedatangan mereka, para orang tua menghilang –sembari membawa serta putera dan puteri mereka. Bangsawan Moroi pergi untuk menghabiskan musim panas dengan para orang tua mereka di kediaman yang mewah – kebanyakan di bagian selatan Hemisphere, dimana siang hari lebih pendek disetiap tahunnya. Moroi ‘biasa’ pergi bersama orang tua mereka juga, kebanyakan bersembunyi di rumah sederhana, terkadang pula mendapatkan pekerjaan musim panas sebelum kuliah.

Dan tentu saja karena sekolah libur pada musim panas, semua siswa juga pergi. Beberapa yang tidak memiliki keluarga untuk pulang, biasanya para dhampir, tetap tinggal, mengambil mata pelajaran khusus, namun mereka jumlahnya sedikit. Kampus menjadi kosong setiap harinya saat aku dan teman-teman sekelasku menunggu hari dimana kami akan dbawa ke istana. Kami mengucapkan perpisahan kepada yang lain, para Moroi yang akan pergi atau para dhampir yang segera akan mengikuti jejak kami.


Seseorang yang membuatku sedih karena harus berpisah adalah Jill. Aku bertemu dengannya saat aku berjalan menuju asrama Lissa sehari sebelum perjalanku ke istana. Ada seorang wanita yang berjalan bersama Jill, kurasa dia adalah ibunya. Mereka berdua membawa banyak kotak. Jill mengangkat wajahnya saat melihatku.

“Hei Rose! Aku sudah mengucapkan salam perpisahan kepada semua orang tapi aku tidak bisa menemukanmu,” dia mengatakannya dengan jelas.
Aku tersenyum. “Well, aku senang kau menemukanku.” Aku tidak bisa mengatakan kalau aku akan mengucapakan salam perpisahan juga. Aku menghabiskan sisa-sisa hariku di St. Vladimir berjalan kesemua tempat yang kukenal, mulai dari kampus dasar dimana Lissa dan aku pertama kali bertemu di taman kanak-kanak. Aku menjelajahi tiap runagan dan sudut asramaku, berjalan-jalan di kelas favoritku, dan bahkan mengunjungi kapel. Aku juga banyak melewatkan waktu ku di tempat yang dipenuhi oleh kenangan suka duka, seperti tempat latihan dimana aku pertama kali mengenal Dimitri. Jalur tempat dimana ia pernah menyuruhku berlari mengelilingi lapangan. Kabin, tempat dimana kami akhirnya menyerah satu sama lain. Itu merupakan satu dari malam yang paling mengagumkan dalam hidupku, dan memikirkannya selalu membawaku ke dalam perasaan bahaia dan sakit.

Meskipun begitu, Jill tidak perlu direpotkan oleh hal seperti itu. Aku berpaling ke arah ibunya dan menawarkan tanganku untuk bersalaman sampai aku sadar kalau di tidak bisa menyalamiku dengan tangan yang penuh dengan kotak.

“Aku Rose Hathaway. Mari, biarkan aku membawanya.” Aku mengambilnya sebelum ia bisa protes karena aku yakin dia akan melakukannya.
“terima kasih,” jawabnya, terkejut senang. Aku mengiringi bersama mereka saat mereka mulai berjalan lagi.

“Aku Emily Mastrano. Jill sudah seringkali bercerita tentangmu.”
“Oh, benarkah?” tanyaku sambil menggoda Jill dengan senyuman.
“Tidak banyak. Hanya bagaimana aku terkadang jalan keluar bersamamu.” Ada sedikit peringatan di mata hijau Jill, dan ini membuatu berpikir kalau Emily mungkin tidak tahu tentang latihan terlarang formasi sihir membunuh Strigoi di waktu senggang putrinya itu.

“Kami suka bersama Jill,”kataku, tidak membuka rahasianya. “Dan satu dari yang kami lakukan beberapa hari terakhir adalah mengajarinya untuk menjinakkan rambut itu.”
Emily tertawa. “Aku sudah mencoba hampir selama lima belas tahun. Semoga beruntung.” Ibu Jill sangat mempesona. Keduanya tidak terlalu mirip, paling tidak ukurannya berbeda. Rambut Emily yang berkilau lurus dan hitam, matanya berwarna biru dengan bulu mata yang panjang. Dia bergerak dengan kerampingan yang anggun, sangat berbeda dengan cara berjalan Jill yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Namun, aku bisa melihat gen yang dibagikannya kepada Jill, bentuk wajah hati dan bibir yang berbentuk. Jill masih muda, dan saat ia tumbuh menjadi dirinya yang menonjol, dia akan menjadi penghancur hatinya sendiri suatu saat nanti – sesuatu yang mungkin ia lupa sekarang. Semoga kepercayaan dirinya akan tumbuh. 

“Dimana rumah untuk kalian?” tanyaku.
“Detrout,” sahut Jill, merubah ekspresinya sendiri.
“Tidak seburuk itu,” ibunya tertawa.
“Tidak ada gunung. Hanya jalan raya.”
“Aku bagian dari kelompok balet disana,” Emily menjelaskan. “Jadi kami tinggal di tempat dimana kami bisa membayar tagihan.” Kurasa aku lebih terkejut mendengar orang-orang ini pergi ke tempat balet di Detroit daripada mendengar Emily adalah seorang balerina. Akan cukup menyenangkan menontonnya, dan sungguh, dengan tubuhnya yang tinggi dan ramping, Moroi adalah penari ideal sejauh manusia memperhatikan.

“Hey, itu kota besar,” kataku pada Jill. “Nikmati kegembiraan saat kau bisa sebelum kau kembali ke tengah-tengah kebosanan antah berantah ini.” Tentu saja, latihan bertarung terlarang dan penyerangan Strigoi susah untuk dikatakan membosankan, tapi aku ingin membuat Jill merasa lebih baik.
“Dan itu tidk akan lama.” Perjalan musim panas Moroi paling tidak sekitar dua bulan. Orang tua biasanya tidak sabar untuk mengembalikan anak-anak mereka ke tempat yang aman di akademi.
“Kurasa seperti itu,” sahut Jill, tidak terdengar yakin. Kami sampai di mobil mereka, dan aku memasukkan kotak ke dalam bagasi.
“Aku akan mengirimimu e-Mail saat aku sempat,” janjiku. “Dan aku bertaruh Christian juga akan melakukannya. Mungkin aku bahakan bisa meminta Adrian melakukannya juga.”

Wajah Jill berbinar, dan aku senang melihatnya kembali ke sifat hebohnya yang biasa.
“Benarkah? Itu bagus sekali. Aku ingin mendengar semua yang terjadi di istana. Kau mungkin akan melakukan hal-hal keren bersama Lissa dan Adrian, dan aku bertaruh Christian akan menemukan beberapa hal...tentang sesuatu.”

Emily terlihat tidak sadar dengan usaha konyol Jill mengedit ucapannya dan langsung memberiku sebuah senyuman manis. "Terimakasih untuk pertolonganmu, Rose. Senang bertemu denganmu.”
“Senang bertemu denganmu juga – umph!” Jill melemparkan dirinya ke arahku dengan sebuah pelukan. “Semoga beruntung dengan segalanya,” katanya. “Kau sangat beruntung – kau akan mendapatkan hidup yang bahagia sekarang!”

Aku memeluknya kembali, tidak bisa menjelaskan bagaimana irinya aku padanya. Kehidupannya masih aman dan lugu. Dia mungkin akan marah karena menghabiskan musim panasnya di Detroit, tapi hal itu tidak akan lama, segera dia akan kembali ke dunia yang familiar dan mudah di St. Vladimir. Dia tidak akan keluar ke dunia yang tidak diketahui dan berbahaya.

Baru setelah dia dan ibunya pergi aku bisa mendorong diriku untuk merespon komentarnya. “Aku harap juga begitu,” guman ku, memikirkan apa yang akan terjadi nanti.
“Aku harap begitu.”

Teman sekelasku dan moroi terpilih terbang di pagi hari berikutnya, meninggalkan pegunungan berbatu Montana di belakang menuju bukit berderet Pennsylvania.

Istana bangsawan masih sama seperti yang kuingat, dengan bangunan mengesankan dan kuno yang sama dengan St. Vladimir dengan bangunan-bangunan menara dan arsitektur batu yang rumit. Namun saar sekolah juga terlihat memamerkan hawa bijaksana dan ketekunan, istana ternyata lebih pamer lagi. Seolah bangunan ini mencoba memastikan bahwa kami mnyadari kalau bangunan ini merupakan keukasaan dan kebangsawanan dinatara para Moroi. Istana bangsawa ini menginginkan kami untuk terkagum-kagum dan mungkin sedikit takut.

Dan meskipun aku pernah ke tempat ini sebelumnya, aku masih mereasa kagum. Pintu-pintu dan jendela di bangunan batunya berukir timbul dan dibingkai dengan emas murni. Mereka tidak terlihat secerah bangunan yang pernah kulihat di Rusia, tapi aku sadar kalau desain istana ini meniru bangunan-bangunan tua dari Eropa itu – benteng-benteng dari istana St. Petersburg. St. Vladimir memiliki bangku-bangku dan jalan-jalan setapak di lapangan dan halaman, namu istana ini memiliki yang lebih dari itu. Sejumlah air mancur dan patung-patung berbentuk rumit dari penguasa terdahulu menghiasi rumput, karya marmer indah yang tersembunyi di balik salju.

Sekarang, di dalam pergolakan musim panas, benda-benda seni itu terlihat bersinar dan memamerkan dirinya. Dan dimanapun, dimana-mana ada pohon-pohon berbunga, semak-semak, jalan-jalan kecil – sangat mempesona.

Masuk akal jika pengawal baru mengunjungi pusat administrasi pengawal, tapi ini terjadi di tengah musim panas. Mereka ingin aku dan teman-teman sekelasku melihat semua ini, membuat kami kewalahan dan menghargai saat dimana kami bertarung. Melihat wajah-wajah dari para lulusan baru ini, aku tahu taktik mereka berkerja seperti yang direncanakan. Sebagian besar dari temanku tidak pernah kesini sebelumnya. Lissa dan Adrian satu penerbangan denganku, dan kami bertiga berkelompok saat berjalan bersama kelompok yang lain. Nuansanya sehangat Montana, tapi kelembabannya lebih tebal terasa. Aku merasa berkeringat setelah sedikit berjalan-jalan santai.

“Kau sudah membawa gaun kali ini, kan?” tanya Adrian.
“Tentu saja,” jawabku. “Gaun-gaun itu layak mendapatkan kemewahan saat kita mengenakannya untuk pergi. Meskipun, mereka mungkin memberiku nuansa hitam-putih saat mengenakannya.”

Dia menganggukan kepala dan aku menyadari tangannya bergerak masuk ke kantongnya sebelum dengan ragu dia tarik kembali. Dia mungkin memiliki kemajuan untuk berhenti merokok, tapi aku cukup yakin kalau alam bawah sadarnya memerintahkannya secara otomatis untuk mengambil benad itu saat udara luara tersa sulit untuk disingkirkan dengan cepat.

“Maksudku untuk malam ini. Untuk makan malam.”

Aku melirik Lissa dengan penuh tanda tanya. Jadwalnya di istana selalu berfungsi sebagai tanda bahwa ‘orang biasa’ tidak diundang. Dengan statusku yang baru dan tidak pasti ini, aku tidak yakin aku akan pergi bersamanya. Aku merasakan kebingunagnnya melalui ikatan kami dan dia tidak tahu menahu tentang rencana makan malam spesial.

“Makan malam apa?” tanyaku.
“Makan malam yang aku atur bersama keluargaku.”
“Makan malam yang kau –“ aku berhenti dengan mata terbelalak, tidak suka dengan seringaian di wajahnya. “Adrian!” beberapa teman-teman lulusanku menatap kami dengan penasaran dan kemudian melanjutkan jalan-jalan mereka di sekitar kami.

“Ayolah, kita sudah pacaran beberapa bulan. Bertemu orang tua adalah bagian dari ritual berpacaran. Aku sudah bertemu ibumu. Aku bahkan sudah bertemu ayajmu yang menakutkan. Sekarang adalah giliranmu. Aku jamin tidak satupun dari keluargaku akan beranggapan seperti yang ayahmu lakukan.”

Sebenarnya aku sudah pernah bertemu ayah Adrian sebelumnya. Atau, sebenanrnya aku melihat dirinya di sebuah pesta. Aku ragu dia tahu siapa diriku – di samping reputasi gilaku. Aku khampir tidak tahu menahu tentang ibunya Adrian. Dia sebenarnya jarang sekali membicarakan anggota keluarganya – weel, hampir semua keluarganya. 

“Hanya Orang tuamu?” tanyaku hati-hati. “Ada keluarga lain yang harus kukenal?”
“Sebenarnya ...” tangan Adrian menejang algi. Kupikir ini saatnya ia menginginkan rokok sebagai perlindungannya dari nada peringatan di dalam suaraku.

Lissa, menurut pandanganku, terlihat geli dengan semua ini. “Tanteku mungkin akan mampir.”

“Tatiana?” aku berseru. Untuk beratus-ratus kali, aku bertanya-tanya bagaimana bisa aku begitu beruntung bisa berpacaran dengan lelaki yang memiliki ikatan keluarga dengan pemimpin dari seluruh dunia Moroi. “Dia membenciku! Kau tahu apa yang terjadi saat terakhir kali aku berbicara dengannya.” 

Kebangsawanannya ini tanggalkan saat berhadapan denganku, berteriak tentang bagaimana aku begitu tak sederajat berhubungan dengan keponakannya dan bagaimana dia memiliki ‘rencana’ besar untuk Adrian dan Lissa. 
“Kurasa dia hanya akan mampir sebentar.”
“Oh, ayolah.”
“Tidak juga,” Adrian hampir terlihat seperti akan mengatakan yang sesungguhnya. “Aku berbicara pada ibuku suatu hari, dan ... aku tidak tahu. Tante Tatiana tidak terlihat begitu membencimu.”
Aku cemberut, dan kami bertiga mulai berjalan lagi.
“Mungkin dia mengangumi hasil kerja main hakimmu sendiri,” goda Lissa.
“Mungkin,” kataku. Tapi aku tidak benar-benar mempercayainya. Jika begitu, aku akan akan bertindak nakal dan harus membuat diriku semakin hina di mata sang ratu. Aku merasa dikhinatai saat Adrian membawakan makan malam ini untukku, tapi tidak ada apapun yang bisa kulakukan tentang hal ini sekarang. Sisi terangnya hanyalah aku mendapatkan perasaan kalau isu kedatangan tantenya itu hanyalah untuk menggodaku. 

Diterjemahkan langsung dari Novel Vampir Academy: Spirit Bound karya Richelle Mead oleh Noor Saadah. This is truly  fanmade and  no profit work.

You May Also Like

7 komentar

  1. ayoo kak, semangat bikin translate bahasa indonesianya.. aku penasaran tingkat dewi nih ama novel ini huhuhu

    ReplyDelete
  2. Thanks..walopun dah baca versi inggrisnya..rasanya beda kalo pake bahasa kita sendiri ^^

    ReplyDelete
  3. @Ruang Buku >> Bener ^^. Cuma sayangnya penerbitnya pake acara slow motion, jadi mau ngelengkapin koleksi kayaknya mesti nunggu berbulan-bulan T.T

    ReplyDelete
  4. ayo semangat kakak!!
    penasaran banget lanjutannya :(

    ReplyDelete
  5. kakak yang punya blog ini keren abis..hehehe
    makasih bwt ranslate nya..mau beli versi inggrisnya agak punya uang untungnya ada blog ini

    ReplyDelete
  6. Wah terima kasih kembali, untuk lanjutannya tunggu minggu ini ya ^^

    ReplyDelete