Cerita Analogi : Empat Nelayan, Kapal, dan Awan Badai

by - 11:11 PM


"Senja tidak pernah membuatku bosan, atau mengkhianatiku dalam diam." 
- duestinae89

Dan hari ini aku ingin bercerita tentang sebuah kisah analogi Empat Nelayan, Kapal dan Awan Badai. Cerita ini terbersit dan bermetamorfosa menjadi bentuk film dalam perjalananku selama satu  setengah jam dari rumah ke kantor. Biasanya hanya satu jam, tapi karena hari ini cerita tersebut bermain layaknya film di kepalaku, menyebabkan kecepatan motorku melaju lebih lambat. Dan ini hal biasa bagiku, membawa motor sambil memutar film di kepalaku. Kadang sedih, kadang suka. Namun bagi yang tidak terbiasa, tolong untuk tidak meniru apa yang aku lakukan karena bisa jadi perilaku ini lebih membahayakan ketimbang main handpohone di jalan.

Cerita bermula saat empat orang nelayan berlayar bersama untuk mencari ikan di laut. Mereka sebenarnya berasal dari dusun yang berbeda, namun karena memiliki tujuan yang sama - yakni menangkap ikan, maka mereka memutuskan, dengan niat dan restu orang tua, untuk berlayar bersama.

Setelah berhari-hari hidup dan menangkap ikan di laut, mereka memperoleh banyak sekali ikan. Beberapa kali mereka ingin menyerah karena ombak yang besar atau tiupan angin laut yang kencang, namun mereka ternyata berhasil melewatinya. Semakin sering mereka bertemu tantangan di laut, semakin sering pula niat hampir menyerah muncul di hati mereka. Namun setiap kali mereka berhasil melewati rintangan tersebut, mereka merasa semakin percaya diri dan bisa menangkap lebih banyak ikan lagi. Tanpa mereka sadari mereka menjadi nelayan yang tangguh hari demi hari.

Hingga pada suatu hari, saat keempat orang ini sedang tidak menangkap ikan, dari kejauhan terlihat awan badai yang bergerak sedikit demi sedikit ke arah mereka. Saat itu, mereka melihat awan tersebut dari bagian kapal yang berbeda. Satu orang sedang asik melihat ikan di haluan kapal, satu orang sedang berada di buritan sambil merenung mengingat kampung halaman, satu orang sedang duduk di atas tiang layar kapal  sambil berandai-andai berapa jumlah ikan yang bisa ia bawa untuk orang tuanya, dan satu orang sedang berada di depan kemudi kapal sambil mengingat kekasihnya di pesisir pantai yang menunggunya.

Nelayan pertama yang berada di haluan saat melihat awan tersebut berpikir, "Awan badai itu masih jauh dan kecil. Jadi pastinya masih lama akan sampai ke arah kami. Toh masih ada tiga teman nelayanku yang lain yang akan membantuku menghadapinya. Lebih baik aku tidur dulu. Karena malam tadi aku tidak bisa tidur memikirkan bagaimana keadaan teman-temanku di kampung halaman. Ah, memang sebaiknya aku tidur saja. Kalaupun awan itu mendekat, teman-teman nelayanku ini pasti akan membangunkanku." Lalu ia pun tertidur di dekat haluan kapal.

Nelayan kedua yang saat itu berada di buritan kapal, langsung tersentak kaget dan panik melihat awak badai tersebut. "Oh tidak, sepertinya akan datang awan badai mendekati kapal kami. Nelayan lain yang lebih senior sudah pasti tahu cara menghadapinya. Kami kan masih nelayan kecil dengan kapal yang kecil pula. Bahaya kalau kami tidak segera bersiap-siap." Kemudian nelayan kedua ini bergegas lari ke haluan kapal dan menemukan nelayan pertama yang tidur dengan nyenyak. Si nelayan kedua mencoba membangunkan si nelayan pertama, namun setiap kali dibangunkan, si nelayan pertama terus mengelak sambil memejamkan matanya. Karena sangat marah, si nelayan kedua berteriak dan berlari ke dalam ruang kamar kapal dan mengunci dirinya di kamar tersebut sambil terus mengamuk karena marah.

Nelayan ketiga yang saat itu berada di atas tiang layar melihat kejadian tersebut dan langsung turun dan berlari ke arah nelayan pertama. Mencoba membangunkannya, namun dia tidak bangun. Kemudian dia berlari ke arah kamar, mencoba membujuk temannya untuk keluar, namun yang dia dapat hanyalah gedoran balasan dan teriakan dari balik pintu. "Aku tidak mau keluar! Terserah  kalaupun badai itu akan membalikkan kapal kita!" teriaknya.  Akhirnya karena kesal dan merasa tidak dihargai, si nelayan ketiga kembali ke arah tiang layar kapal dan mulai menghancurkan layar tersebut.

Nelayan keempat yang baru tersadar dari lamunannya dan kaget melihat awan badai mendekat, buru-buru berlari ke arah nelayan pertama, mencoba membangunkan, tapi ia tidak bangun. Kemudian ia berlari ke arah tiang layar dan membujuk nelayan ketiga yang disana masih merobek layar untuk turun dan berhenti, namun si nelayan ketiga menolak karena ia masih marah. Dengan lelah dan kesal ia kembali berlari ke kamar kapal dan mencoba membujuk temannya yang sedang berdiam diri disana namun ia pun mendapat perlakuan serupa seperti yang dialami oleh nelayan ketiga. Dengan marah ia berlari ke tengah kapal dan berteriak, "Sudahlah! Aku menyerah! Aku mau loncat saja dari kapal ini!"

Mendengar teriakan tersebut, ketiga nelayan yang lain kaget dan mereka berkumpul di tengah kapal. Namun bukannya membicarakan bagaimana menghadapi awan badai yang semakin mendekat, mereka malah mulai saling melempar ikan-ikan yang ada di kapal itu dengan amarah yang memuncak. Hingga beberapa lama, dan sudah tidak ada lagi ikan atau benda yang bisa mereka lemparkan, mereka baru sadar, kalau awan badai yang mendekati mereka adalah awan badai kecil. Ternyata awan badai tersebut sudah berlalu dan melewati kapal mereka dalam diam, pedih menatap kelakuan empat orang nelayan tersebut.

Akhirnya, karena semua alat menangkap ikan rusak berikut dengan kapal mereka, mereka pun pulang dengan tenaga yang masih tersisa. Membawa sebuah kapal yang rusak parah, tanpa ikan seekor pun, bersama pertemanan yang retak. Selesai.

Jadi, menurut para pembaca, apa yang salah dari cerita tersebut?

Ternyata seringkali kejadian seperti ini terjadi di sekitar kita, bahkan kita alami sendiri. Mungkin saat kita sekolah dan mendapatkan tugas kelompok, atau pada saat kita sudah bekerja dan mendapatkan kerja tim. Kita mungkin mengerjakan dengan orang-orang yang sudah lama kita kenal, atau harus beradaptasi dengan orang yang baru kita kenal, dan kita seringkali sangat fokus. Fokus pada kekurangan yang dimiliki oleh para anggota kelompok atau tim tersebut. 

Saat kita menemukan ada yang salah dengan pekerjaan kelompok atau tim tersebut, kita seringkali fokus. Fokus untuk mencari-cari siapa yang salah. Fokus mengkritisi orang lain. Fokus pada alasan pribadi masing-masing dengan pemikiran bahwa 'saya tidak sesalah dia' atau 'seharusnya dia begini sehingga saya bisa begitu. Kalau dia tidak begini, maka mana mungkin saya bisa begitu.' dan terus saja begitu sampai Iron Man melamar Shizuka dalam film Ada Apa dengan Bekantan.

Hingga sampailah kita pada tindakan 'I am right, right?' 
*terjemahan 'Gua udah bener, ya kan? -colek kiri - ya kan??? -colek kanan.'
Kita terjebak dalam situasi membenarkan apa yang kita lakukan, dengan alasan 'wajar kan kalau aku begini, aku kan manusia biasa.' 

"Jadi kalau pekerjaan tim ini engga kelar, engga jalan, engga sukses, engga jelas, wajar kan aku marah sambil banting barang? Wajar kan kalau aku ngambek dan nggak keluar kamar? Wajar kan kalau aku berhenti saja, udah nggak bisa diapa-apain juga kan? Wajar kan kalau aku woles aja, ngapain ribet, santai aja toh nasi udah jadi bubur, ga bisa dibikin jadi nasi juga kan?"

Hellow! Kita memang manusia biasa. Dan ga ada seorang pun yang berharap kita jadi malaikat. Tapi paling tidak, kita berusaha sebaik yang kita bisa, karena semua perkara pasti ada solusinya, semua pertanyaan sebenarnya ada jawabannya. Hanya saja waktunya atau tempatnya atau tindakannya belum tepat sehingga kita belum memperoleh jawabannya.

Harusnya kita tidak perlu peduli saja. Iya! Tidak perlu peduli dengan kekurangan anggota tim, karena pasti dia atau mereka memiliki kelebihan yang bisa diberdayakan lebih maksimal. 

Harusnya kita tidak perlu bertindak. Iya! Tidak perlu bertindak berelebihan yang bisa merusak tindakan-tindakan efektif yang sebelumnya sudah dilakukan.

Maka lahirlah pertanyaan-pertanyaan retoris seperti, satu, "Mengapa fokus pada melempar kesalahan, padahal kegiatan sinetron tersebut tidak akan pernah bisa melahirkan solusi?"
Dua,"Mengapa Anda memutuskan segala sesuatu saat emosi, padahal sudah sering kali Anda lakukan, dan selalu Anda merasa menyesal sesudahnya?"
Tiga,"Untuk apa membuang-buang waktu untuk mengeluh, melakukan tindakan yang tidak berhubungan dengan tugas tim Anda,  membandingkan kelompok sendiri dengan rumput tetangga yang lebih hijau berbunga-bunga, sampai Anda sadar bahwa deadline pengumpulan tugas tersebut hanya berjarak lima senti dari hidung Anda?"
Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita buat sampai kepala kita migrain karenanya.

Manusia memiliki ego. Dan sebagian besar tidak ingin disalahkan dan dikritik meski sudah meyakini konsep bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Namun saat kita bekerja dalam sebuah tim,  kita tidak perlu bangga menjadi orang yang paling menonjol dalam tim tersebut, kita tidak perlu keburu mudah tersinggung dengan kritik dan masukan dari teman satu tim, kita tidak perlu mencari pembenaran karena hal itu hanya akan membuang-buang waktu kita yang berharga. Karena yang dilihat adalah bagaimana kita bekerja sama dalam tim, memaksimalkan semua kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing anggota tim, mengesampingkan kekurangan, meminimalisasi kesalahan, memanajemen waktu sehingga lebih efektif hingga kita bisa menghasilkan sebuah karya yang luar biasa. 

Mungkin tidak luar biasa bagi orang lain, karena kata 'luar biasa' adalah opini, dimana tiap orang memiliki pandangan berbeda. Kita tidak perlu meminta Raja Salman untuk menilai harga dari emas sintetis yang kita buat dengan kalimat 'khooriqul 'aadati, fauqol 'aadati, kita tidak perlu meminta Steve Job menilai program aplikasi yang kita ciptakan dengan kalimat 'Amazing!', kita tidak perlu meminta Honda untuk menilai mesin yang kita ciptakan dengan kalimat 'Sugoi!'.

Tapi kita akan merasa luar biasa dengan sendirinya. Karena saat karya besar itu terlahir oleh tangan bersama kelompok kita, maka rasa bangga dan puas akan hasil bersama itu, akan kita rasakan bahkan melebihi segala ungkapan pujian dengan menggunakan 7000 lebih bahasa di dunia. Dan segala lelah, luka, dan sesak karena harus mengurung rapat ego kita supaya tidak mengganggu jalannya proses penciptaan karya tersebut, akan sepadan dengan hasil yang kita dapat. Yakni, sebuah proses pendewasaan diri dan pengalaman yang berharga dengan melalui lusinan tempaan yang luar biasa. 

Karenanya, tidak perlu kata luar biasa dari orang lain, karena kita akan merasa luar biasa  setelah kita sukses melewati rintangan bersama tim yang solid.

Jadi, masihkah kita tetap ingin menjadi empat nelayan di atas yang fokus pada ego masing-masing, saling melempar semua ikan yang mereka punya, dan berakhir dengan tidak mendapatkan apa-apa?

-- Self reminder by Enoey


You May Also Like

0 komentar