Cerpen : Wanita di Pinggir Jembatan Layang
Seorang wanita muda duduk bersila di pinggir jembatan layang. Rambutnya yang panjang ber-higlight biru
berkibar tak karuan ditiup angin. Helaiannya menari-nari kekiri
kekanan, naik turun semerawut, membuat rambut yang mungkin semula lurus
itu menjadi gimbal natural. Sesekali tangannya menyentuh helaian-helaian
itu, mencoba merapikan, meski hal itu adalah kegiatan yang sia-sia
karena angin akan kembali berpesta-pora dengan rambutnya lagi. Tak satu
orang pun yang memperhatikan apa yang sedang dilakukannya. Apalagi untuk
berandai-andai dengan apa yang sedang wanita itu pikirkan. Orang-orang
di pinggir dan lewat jembatan asyik dengan pikiran dan aktivitasnya
masing-masing. Sedangkan seorang wanita muda itu tetap duduk bersila di
pinggir jembatang layang.
Gelombang kecil berarak di atas sungai Barito. Memantulkan bayangan
langit dengan pantulan yang abstrak. Masalahnya, air-air itu tidak
bertambah banyak literannya hanya karena ada beberapa tetes air mata
yang jatuh dari dua bola mata seorang wanita muda yang duduk sendirian.
Tangannya memeluk erat palang-palang besi yang berbaris rapi.
Kepalanya menunduk pedih mempersilakan rambutnya yang mulai kusut
menutupi separuh wajah putih susunya. Beberapa laki-laki muda dengan
tampang di bawah rata-rata nekat mencoba menyapa wanita itu. Sekedar
basa-basi bertanya kenapa sendirian atau mengapa bersedih.
Ujung-ujungnya hanya ingin menambah panjang daftar buku telepon di
ponselnya. Sayangnya usaha mereka hanya dijawab oleh angin yang mulai
mabuk arah. Dengan tampang kecewa, akhirnya beberapa laki-laki muda itu
kembali ke posisinya semula sambil menunggu wanita muda lain yang
mungkin kesepian.
Sebenarnya, wanita muda itu tidak sendirian. Dia juga tidak
benar-benar duduk di pinggir jembatan. Dia ditemani oleh kenangan
terburuk dan terberat di dalam kepalanya. Tubuhnya utuh tapi jiwanya
tidak berhenti terseok-seok ke dalam masalalunya. Jatuh…jatuh…dan terus
jatuh.
# # #
“Kenapa?” sebuah pertanyaan, lahir dari bibir kering seorang wanita muda yang sembab kedua matanya.
“Kosong,” sebuah jawaban, respon dari seorang lelaki yang duduk kaku dengan tatapan sekosong gelas dihadapannya.
“Apanya?” rupanya masih ada yang belum bosan untuk bertanya.
“Aku,” sebuah suara dengan nada lelah selelah wajah si empunya.
“Lalu?” masih ada harapan, mungkin begitu kata hati sang wanita.
“Ya, sudah,” kembali di jawab tanpa irama, datar.
“Sudah?” kali ini jelas bukan sebuah pertanyaan, mungkin hanya sekedar untuk meyakinkan.
“Iya, sudah. Kita sudahi saja,” terdengar tak sabar atau mulai kesal?
“Kenapa?” ada selaput tipis tiba-tiba menutupi kedua mata sang wanita.
“Kosong,” ada jeda, ada jarak.
“Kenapa?” bibir wanita itu bergetar, air sudah tidak sabar untuk mengalir.
“Ada dia…”
Ada helaan nafas panjang di sudut ruang tamu sempit itu. Percakapan
yang terjadi seakan dibuat bertele-tele seolah yang punya suara ogah
untuk cepat-cepat mengakhirinya. Berbeda dengan tiga hari yang lalu
disaat suara itu ditemani ribuan bunyi benda-benda saling bertubrukan di
lantai dan dinding. Berbeda dengan seminggu yang lalu disaat suara itu
hening dan hanya disela oleh desahan panjang. Berbeda dengan sebulan
yang lalu disaat tawa dan candaan bergema di antara sofa ruang tamu itu.
Berbeda dengan setahun yang lalu disaat seorang bocah lelaki gugup
menyatakan satu kata sesulit mengucapkan pidato kepada sang penguasa.
Laki-laki yang dulunya gugup itu kini berjalan angkuh penuh keyakinan
seolah ia baru saja menemukan jalan yang benar. Kaki-kakinya mantap
melangkahi pintu dan pergi dengan sedikit gerakan slowmotion
seakan hatinya pun ikut terluka. Namun luka yang sebenarnya, ia
tinggalkan di balik pintu itu. Diantara dinding-dinding yang pengap,
diruang tamu sempit itu, di atas sofa biru. Seorang gadis, dengan
rambut panjang kusut masai dan berbau air mata, duduk tanpa gerakan
sedikit pun. Ia mengerti semuanya berakhir, semuanya ada akhir. Tapi
hatinya masih mengejar laki-laki yang kini sudah tak menghidangkankan
apa-apa lagi untuknya.
Tak ada satu orang pun yang tinggal di rumah itu kecuali si gadis
yang kini mengelus perlahan tiap inci dinding yang ia yakini masih
meninggalkan sedikit kenangan. Hidungnya perlahan menghirup seluruh
aroma lelaki itu yang mungkin masih tertinggal di sofa, di sprei, di
dapur, di kamar mandi, dimana-mana. Ia baru menyadari bahwa semua yang
ada di rumah itu beraroma sama seperti lelaki yang ia percaya sebagai
kekasihnya itu. Tiba-tiba nafasnya sesak. Matanya rabun oleh bayangan.
Tubuhnya kaku.
# # #
Hari Sabtu. Satu minggu setelah kekosongan mengisi ruang
tamu. Sang wanita tidak beranjak sedikitpun dari sofa biru berdebu.
Hidupnya hanya seputar sofa-kamar mandi-dapur-sofa. Kadang dapur atau
kamar mandi atau dua-duanya hilang dari siklus itu. Air mata seakan
sampah. Terbuang dimana-mana. Tanpa harga.
Satu-satunya barang yang seakan hidup hanyalah televisi ukuran 14
inch. Wanita itu memandang hampa acara yang disiarkan. Jelas ia hanya
menatap, tidak melihat. Mendadak rasa sakit meluap-luap dari dadanya.
Sebuah lagu yang sering didendangkan seseorang yang pernah berharga,
terdengar dari speaker televisi bervolume rendah. Bayangan kenangan
indah melesat sempurna. Wanita itu berdiri, berlari ke dapur seolah
mengejar bayangan itu. Berhenti tepat di depan sebuah pisau pemotong
sayur yang baru dibeli. Tangannya gemetar, namun jari-jarinya mantap
mengenggam pisau tanpa karat itu. Tangan kirinya terulur pasrah ke
depan. Siap menerima eksekusi dari tuannya sendiri. Telapak tangan
kirinya berbalik, putih di atas hitam dibawah. Dingin menyentuh daging
dekat nadi yang berwarna biru tua. Tangan itu terlalu kurus hingga
jalur-jalur nadi terlihat dengan jelasnya. Getaran menguasai seluruh
tubuhnya. Semenit kemudian terdengar kelontang keras suara jatuhnya si
pisau. Sejenak, tidak terdengar suara nafas disitu. Hening, seolah
Izrail baru saja lewat dan mengambil sisa-sisa kehidupan yang ada.
Sungguh hening.
Seperempat menit kemudian, seseorang terbatuk-batuk. Memuntahkan air
ke udara yang sudah terkontaminasi bau apak. Wanita itu masih hidup.
Rasa sakit yang nyata telah menghalangi kesakitan hatinya. Ia pun
perlahan berdiri dan mencoba untuk duduk tenang di sofa, sarangnya.
Televisi di depannya telah mati, bukan lewat remote control, melainkan dengan terjangan stileto yang haknya setinggi 12 centimeter. Sukses membuat televisi itu menjadi kotak tanpa kaca yang tidak lagi berguna.
Mata wanita itu berjalan dari sudut kiri ke sudut kanan. Tidak
mencari apapun. Hanya menjalari senti demi senti dinding dan lantai yang
sudah mengkoleksi debu dari berbagai sumber. Setengah jam berlalu,
perjalanan matanya tiba-tiba berhenti ketika bertemu dengan sebotol obat
semprot anti nyamuk. Merangkak, ia menghampiri benda yang tidak ada
nilai-nilai artistiknya itu. Ia mengguncangkannya pelan, terdengar
gemerisik bunyi cairan di dalamnya. Mungkin masih ada setengah botol pikirnya
saat itu. Bergegas ia memutar tutup botol dan mendapati hidungnya
bertemu dengan wewangian yang benar-benar tidak alami. Ia menahan nafas.
Membuka mulut dengan enggan. Berpikir tentang penghianatan seseorang
selama beberapa detik. Lalu…
“Hoeeek…!” cairan itu sukses keluar, sesukses masuknya ke dalam
kerongkongan. Rasanya jelas berbeda dengan minuman soda atau susu
panas. Tapi cairan itu benar-benar membakar daging tenggorokannya.
Beruntung ada air dalam vas bunga di meja kecil yang tengah ia sandari.
Meski rasanya juga tidak sebaik air mineral biasa, paling tidak, tidak
seburuk anti serangga itu. Nafasnya naik turun tidak teratur. Perlahan
ia kembali duduk, bersandar pada ketidakempukkan sofa favoritnya, sofa
biru.
“Tidak ada harapan untukku pergi,” bisiknya, entah pada siapa. Wanita
itu kembali tenang dan menatap. Terlihat sedang berkonsentrasi
memikirkan sesuatu. Dengung lalu lintas di depan rumahnya terdengar
nyaring. Tidak seperti biasa, ada beberapa truk polisi yang mengangkut
narapidana lewat di jalan itu. Memperdengarkan bunyi gaduh dari sekedar
bunyi angkot atau taksi bandara. Ia terlonjak. Masuk ke dalam kamar dan
bergegas berganti pakaian.
“Aku ingin terlihat cantik,” bisiknya lagi. Ada nada bahagia di situ.
Ia mengambil gaun tipis selutut berwarna putih. Rambut yang biasa
terikat, ia geraikan. Matanya berkaca-kaca. Jari-jarinya menggenggam
telepon genggam. Ia meloncat keluar rumah, menekan tanda untuk
menelepon ke nomor seseorang kemudian berdiri tegak di pinggir jalan
raya.
“Halo,” telepon itu diangkat diseberang sana. Sayangnya, bukan suara
laki-laki yang wanita itu harapkan berbicara, tapi suara gadis asing
yang terdengar manja. Ironisnya, wanita itu tidak tahu. Ia hanya
menggenggam telepon itu, tidak menempelkannya ke telinga. Lalu, ketika
di ujung jalan terlihat sebuah mobil sedan keluaran terbaru dan terlihat
mahal melaju dengan kencang, ia merentangkan tangannya dan berdiri di
tengah jalan. Kejadian itu berdurasi kurang dari lima detik. Beberapa
orang yang kebetulan berada di pinggir jalan berteriak memintanya untuk
bergerak. Suara gesekan ban mobil dengan aspal melengking dan menusuk ke
setiap pasang telinga yang ada di tempat itu. Sebuah telepon genggam
terlempar dan menabrak kaca mobil. Meninggalkan nada putus dan
kebingungan di seberang sana. Membuat retakan kecil tepat di depan
tempat duduk sopir yang juga spontan berteriak. Seorang wanita muda
histeris di sampingnya.
“Braaaak!” sesuatu tergilas ban mobil. Semua orang menahan nafas.
Ketegangan yang muncul dipecahkan oleh suara pintu mobil dibanting
berikut dengan kuliah singkat suara laki-laki tua. Seorang kakek-kakek
berdiri dan memaki di hadapan wanita berbaju putih yang terduduk di
aspal dengan hidung yang hampir mencium mobil. Gadis muda lain masih
berada dalam mobil, menutup mulutnya dengan tangan kiri. Tangan kanannya
mengetikkan pesan singkat kepada seorang sahabat.
Jel, co ku hampir nabrak ce yg mw bunuh diri!
Seseorang menerima sms itu dengan tampang bingung. Baru saja aku menerima telepon yang aneh, sekarang temanku yang dapat kejadian aneh batinnya. Tiba-tiba ada yang datang memeluknya dari belakang, membawakan seikat bunga sambil berbisik,
“Sayang, balikin kartu teleponku yah. Kalau dosenku telepon, gimana?”
# # #
Seorang wanita berlari dan menghentikan sebuah ojek.
Dengan bingung tukang ojek menyerahkan helm standar dan bertanya tujuan
kepada si wanita. Diiringi isak tangis tertahan dan tubuh yang
gemetaran, si wanita menjawab sambil menaiki motor itu,
“Jembatan, Paman.”
Sepanjang perjalanan menuju jembatan, wanita itu mereka ulang
kejadian yang baru ia alami. Ia belum mati, itu sudah jelas. Ketika
membuka mata, kakek pemilik mobil menceramahinya. Telepon genggamnya
hancur, setelah menabrak kaca depan mobil, terbanting ke aspal, lalu
terlindas ban mobil yang sama. Semua orang yang ada disitu
menghampirinya. Membuat lingkaran kecil. Sebagian bertanya, sebagian
menuduh. Dengan kesadaran di bawah rata-rata, ia tidak bisa mengingat
kejadian setelah itu. Tiba-tiba saja tangannya melambai dan sekarang
berada dalam sebuah perjalanan tidak terrencana.
Ketika ban motor menyentuh tepian jembatan Barito, tukang ojek
mengeluh sambil berteriak. Kalimat ‘aku tak punya uang’ yang keluar dari
bibir si gadis memicu emosi dari alam bawah sadar si tukang ojek.
Setelah memuaskan hatinya hingga mulutnya letih dengan umpatan, ia
pergi. Tahu tidak akan mendapat apa-apa, ia biarkan wanita itu
sendirian. Berjalan dengan telanjang kaki. Sepasang sendalnya menjadi
cindera mata yang sepadan bagi si tukang ojek.
# # #
Jembatan ini punya banyak kenangan. Mungkin itu
kemungkinan terbesar mengapa seorang wanita yang bingung menjadikannya
sebagai tempat tujuan.
“Sekarang, dia pasti mengira aku sudah mati,” air mata kembali
menyapa sungai di bawah jembatan. Entah masih utuh atau hanya berupa
embunnya saja. Keinginannya untuk terjun bebas dan merasakan terbang
untuk sepersekian detik sudah lenyap beberapa menit yang lalu. Padahal,
ia tahu bahwa jika ia melakukannya, ia tak akan gagal lagi. Karena saat
it terjun, tidak akan ada jalan kembali. Ketakutan, rasa yang tidak
enak, atau manuver tepat yang dilakukan oleh seorang kakek-kakek tidak
akan mungkin bisa menghalangi niatnya. Bahkan meski jantungnya masih
berdetak ketika ujung helai rambutnya menyentuh permukaan air. Ia pasti
akan mati. Ia tidak bisa berenang.
Rasa tersia-sia muncul seiring tenggelamnnya matahari, seiring
menghilangnya orang-orang. Hanya tersisa wanita itu dan beberapa pasang
anak remaja. Menatap senja yang tidak terlalu indah. Angin rupanya
buru-buru menarik awan hujan. Terlalu cemburu untuk membiarkan para
pasangan berkencan malam ini. Dari jauh, suara adzan Magrib terdengar
sumbang. Seorang anak kecil berteriak memanggil orang-orang untuk
bertemu Tuhan.
“…menemui Tuhan,” suaranya serak. Ia berdiri. Memandang satu pasangan
yang tersisa dengan iri. Ia menaiki pagar jembatan dengan percaya diri.
Pasangan tersebut kaget dan berteriak. Mereka yakin wanita itu sudah
hampir melompat. Si pria berlari sambil berharap masih sempat
menghalangi wanita itu untuk bunuh diri. Dan peristiwa itu terjadi
begitu cepat.
# # #
Sebuah gang geger. Orang-orang yang tinggal di sepanjang
gang mengepung sebuah rumah kontrakan. Ada satu mobil polisi di sana.
Membentangkan pita kuning di sekeliling rumah. Seorang wartawan surat
kabar mencoba bertanya kepada beberapa orang warga dan kepala
penyelidik. Menggeleng-gelengkan kepala sambil menuliskan beberapa kata
pada buku hitam kecilnya. Ia memotret sepasang anak manusia tanpa
busana yang terbaring di lantai. Tanpa nyawa. Polisi memperkirakan
mereka baru saja dibunuh tadi malam. Saat hujan lebat menyapu bersih
kota dan membiarkan semua orang tak ingin berpisah dari ranjang. Teman
korban yang pertama kali menemukan kedua mayat itu masih menangis tidak
percaya. Ia bersumpah baru kemarin ia menghubungi sahabatnya. Ia yakin
mereka di bunuh dengan rencana karena sebelumnya ia masih sempat
mendengar cerita kalau sahabatnya itu menerima telepon mengerikan. Suara
jeritan seorang wanita. Kala wanita itu bercerita, seorang wanita lain
bergaun putih tipis selutut tanpa sendal, berjalan menjauh dari gerombolan orang-orang.
Cerpen ini telah terbit di Media Kalimantan.
Oleh Noor Saadah
Cerpen ini telah terbit di Media Kalimantan.
Oleh Noor Saadah
2 komentar
hmm enak buat di baca cerpennya..
ReplyDeleteNonton film box office
Hello Enoey,
ReplyDeleteI am Dan of the editorial team of JustFiction Publishing, a publishing house specializing in publishing novels, fiction, poetry and short stories of all genres from new, aspiring and experienced authors.
Would you consider starting a conversation about possibly publishing your work with us in English? You can reach me at d.(my surname)@(my website minus www).com
I'd be delighted to tell you more about us!