Kritik Sastra : Perempuan Bali dan Tiga Versi Cinta dalam Tarian Bumi

by - 6:02 PM



Oleh Noor Sa'adah
Jika perempuan dan cinta bisa diibaratkan dengan sesuatu, maka kita seperti berhadapan dengan satu paket komplit yang isinya saling melengkapi. Ada wanita maka ada cinta, katanya. Kata siapa? Kata orang-orang yang sudah diliputi oleh paradigma perempuan pakai perasaan, lelaki pakai logika. Entah benar tidaknya, kembali kepada pengandaian semula ketika perempuan dan cinta disamadengankan dengan sesuatu. Sayangnya, tidak ada kata yang pantas untuk membandingkan kedua 'hal' tersebut dengan benda, barang atau bentuk-bentuk konkret yang lain. Bukannya bermaksud meninggikan, tapi perempuan dan cinta merupakan anugerah dari Tuhan yang patut dan seharusnya dijaga, jelas bukan barang yang mudah dibuang-buang.
Dari zaman baheula hingga era hi-tech seperti sekarang, anggapan tentang perempuan sebagai sosok yang lebih melankolis tidak pernah terkikis, meski Kartini-Kartini moderen telah lahir dan dengan gagah berani menentang diskriminasi, perempuan tetap saja perempuan. Makhluk Tuhan yang kerap kali tersakiti, baik karena kelemahannya maupun karena kesabarannya.
Bagi Perempuan, kaum Adam adalah kaum yang egosentris, sedang bagi laki-laki perempuan adalah bagian dari kehidupan yang sangat komplek. Memahami satu sama lain bukan hal yang mudah, tapi bukan hal yang tidak mungkin pula. Deskripsi perempuan di mata laki-laki dan perempuan di mata perempuan sering kali berbeda. Perbedaan pandangan ini dapat tercermin dari banyak hal yang sudah ada di sekeliling kita, misalnya lirik lagu, film, dan karya sastra. Namun secara umum dapat ditarik kesimpulan tetang bagaimana sosok perempuan digambarkan dari kacamata laki-laki yang memang berbeda dari sisi perempuan sendiri.
Kaitan antara perempuan dan cinta pun seumpama jarum dan benang, saling berhubungan satu sama lain. Perempuan membawa cinta dalam tiga masa kehidupannya, ketika ia menjadi seorang anak, seorang istri, dan seorang ibu. Ketiga sosok perempuan dengan cinta mereka itulah yang direfleksikan dengan apik oleh Oka Rusmini dalam Tarian Bumi. Sebuah novel yang menceritakan sosok perempuan Bali yang terkungkung dalam budaya patriarki dan adat budaya yang kental dari sudut pandang seorang penulis perempuan.
Novel karya penulis yang sering memperoleh penghargaan ini mengangkat tiga tokoh perempuan perkasa yang berjuang untuk meraih mimpi dan cinta meski itu berarti penderitaan seumur hidup bagi mereka. Mengagumakan sekaligus membingungkan. Itulah kesan pertama yang saya dapat ketika pertama kali membacanya. Saya baru menyadari daya tarik novel ini yang begitu kuat setelah membacanya untuk kedua kalinya.
Mengagumkan karena dalam novel ini perempuan digambarkan kuat di atas kelemahan yang mereka miliki. Mengagumkan karena sosok perempuan Bali tergambar jelas, nyata, tanpa terasa melebih-lebihkan. Novel ini serasa membawa Bali kehadapan kita dan seolah membuat kita seperti telah lama mengenal Bali bersama adat budayanya, tidak hanya sekedar pengetahuan dangkal tentang Bali dan pariwisatanya. Ibaratnya, jika dulu saya mengenal Bali lewat cover keindahan dan keunikan daerah dan masyarakatnya saja, sekarang saya benar-benar seperti diperbolehkan menyentuh bagian Bali yang rahasia.
Tiga perempuan Bali dalam novel ini, Ida Ayu Sagra Pidada, Luh Sekar (Jero Kenanga) dan Ida Ayu Telaga Pidada, cukup mewakilkan sosok perempuan bali meski mungkin belum semuanya. Konflik yang terjadi dalam novel yang membuat penulisnya terpilih sebagai "Penerima Penghargaan Penulisan Karya sastra 2003" Oleh Departemen Pendidikan Nasional Indonesia ini cukup rumit. Ada ambisi, ego, dan cinta yang mewarnai jalinan kisahnya.
Dalam novel ini, penggambaran positif tentang perempuan dan laki-laki memang agak kurang seimbang. Penulis cenderung memihak kepada kaum Hawa yang lebih banyak tertindas dan terjebak aturan. Meski kakek Telaga, Ida bagus Tugur, digambarkan baik pada bagian-bagian terakhir, tetap saja pada awalnya sosok Tugur digambarkan sebagai laki-laki yang egois. Saya merasa ini hanya taktik penulis untuk menyeimbangkan peran gender dalam novel ini, karena akan terasa jelek jika semua laki-laki dalam novel ini terus-terusan digambarkan sebagai makhluk kasar yang tidak pernah sadar. Kaum Adam seolah menjadi kaum antagonis yang egois dan suka merendahkan perempuan dalam beberapa bagian dalam novel ini. Seperti yang tergambar dalam percakan Luh Kenten, perempuan Sudra dengan ibunya berikut ini.
"Sungguh, Meme, aku ingin melakukannya. Bahkan kudengar laki-laki yang sering mencubit pantatku istrinya dua. Laki-laki tukang kawin. Padahal dia tidak punya pekerjaan yang bisa menopang keluarganya. Meme tahu apa yang dia katakana ke teman-temannya?"
"Bicara apa dia?!"
"Carilah perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang. Itu kuncinya agar hidup laki-laki bisa makmur, bisa tenang. Perempuan tidak menuntut apa-apa. Mereka cuma perlu kasih sayang, cinta, dan perhatian. Kalau itu sudah bisa kita penuhi, mereka tak akan cerewet. Puji-puji saja mereka. Lebih sering bohong lebih baik. Mereka menyukainya. Itulah ketololan perempuan. Tapi ketika berhadapan dengan mereka, mainkanlah peran pengabdian, hamba mereka. Pada saat seperti itu perempuan akan menghargai kita. Melayani kita tanpa kita minta. Itu kata laki-laki di warung, Meme. Benarkah kata-kata itu?"
Selain percakapan di atas masih banyak lagi sifat negatif laki-laki yang dimunculkan dalam novel ini. Namun dengan lihai pula, penulis memunculkan sedikit perilaku negatif kaum Hawa sebagai penyeimbangnya.
Tokoh perempuan yang digambarkan dalam novel ini penuh konflik yang berasal dari diri mereka masing-masing serta pengaruh faktor 'x' dari lingkungan dan laki-laki mereka. Konflik itu dipengaruhi oleh 'id, ego, dan superego' (Teori Kepribadian Freud). Bahkan ada konflik batin tentang 'cinta terlarang' antara Luh Sekar dan Luh Kenten. Cinta yang tulus dari seorang perempuan untuk perempuan.
Menurut Freud, kepribadian seseorang dapat terbentuk dengan baik jika id, ego, dan superego-nya seimbang. Dalam Novel ini, yang paling seimbang struktur kepribadiannya adalah Telaga, sang tokoh utama. Perempuan ini digambarkan mampu mengatasi guncangan jiwanya dengan baik. Berbeda dengan dua tokoh yang lain, Sagra Pidada dan Luh Sekar, yang faktor id-nya lebih dominan daripada ego dan superego-nya sehingga membentuk pribadi yang keras dan tidak bisa mengontrol emosi. Ketidakstabilan merekalah yang menimbulkan kecemasan yang melahirkan konflik-konflik seru dan membuat warna tersendiri dalam cerita ini. Menariknya, ketiga tokoh perempuannyanya sama-sama memiliki ambisi yang kuat, Pidada yang ingin memurnikan kastanya, Sekar yang ingin menaikan derajatnya, dan Telaga yang rela melepas semua yang ia miliki demi mengejar cinta sejatinya.
Di tengah amukan konflik mengenai kebangsawanan, ternyata aroma cinta tidak bisa dihilangkan dalam novel ini sekalipun. Meski di kelilingi oleh sumpah serapah yang diedarkan secara lugas, baik oleh tokohnya maupun dari sisi penceritanya, cinta masih ada dalam bentuk aneka rupa. Cinta terpendam Pidada terhadap suaminya sendiri yang akhirnya berbuah bertepuk sebelah tangan. Cintanya terhadap anak laki-laki satu-satunya yang akhirnya juga menghancurkan hatinya sendiri. Cinta Luh Sekar terhadap sebuah kebangsawanan. Rasa sakit dan penderitaan yang membuatnya buta terhadap arti kebahagian yang sesungguhnya. Atau cinta Pidada kepada seorang pria Sudra yang membuatnya rela menghilangkan kebangsawanannya yang ironisnya didapatkanya dari seorang ibu yang mau menukar kebangsawaanaan itu dengan penderitaan sepanjang hayat.
Cinta dalam novel ini mengagumkan, bukan cinta yang 'Lebai', bukan cinta yang berderai-derai air mata. Tapi cinta yang disuguhkan dengan cara yang berbeda, cinta yang biasanya bukan menjadi doa setiap manusia. Jenis cinta yang biasanya tidak diharapkan oleh kebanyakan orang. Cinta yang hadir dalam sebuah realita bukan sekedar ilusi atau mimpi. Tiga versi cinta dalam novel ini, yakni cinta ibu kepada anak, perempuan kepada kekasihnya, dan anak kepada ibu, menunjukkan bahwa cinta itu murni meski tanpa disadari diracuni oleh ambisi.
Akan tetapi, selain mengagumi, ada hal-hal yang membingungkan dalam novel ini yakni dari sisi penceritaannya. Mungkin tidak terlalu masalah karena sudut pandangnya adalah sudut pandang pencerita. Namun, yang aneh adalah tokoh di dalam cerita akan menceritakan tokoh lain dari masa lalunya yang kemudian disambung dengan tokoh lain yang berbeda. Alhasil saya dibuat pusing menebak-nebak siapa yang saat itu sedang diceritakan. Mungkin, penulis bermaksid membuat novel ini sedikit berbeda, tapi bagi saya hal ini sedikit memusingkan. Untungnya hal ini tidak menjadi soal ketika saya membacanya sekali lagi.
Sayangnya, novel ini hanya memaparkan konflik perempuan-perempuan Bali bersama cintanya dalam 182 halaman saja. Jika dibandingkan dengan novel bertemakan perjuangan kaum Hawa yang lain, novel ini masih terbilang tipis.
Akhirnya memang tidak ada yang digambarkan sempurna dalam novel ini, tidak perempuannya tidak pula laki-lakinya. Memang tidak ada yang sempurna meski masih banyak orang yang masih saja mengejar-ngejar kesempurnaan itu. Tidak pula cinta, seperti satu dari beberapa pesan yang tertulis liar dalam buku ini.
"Kelak, Kalau kau jatuh cinta pada seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan beratus-ratus pertanyaan yang harus kausimpan. Jangan pernah ada orang lain tahu bahwa kau sedang menguji dirimu apakah kau memiliki cinta yang sesungguhnya atau sebaliknya. Bila kau bisa menjawab beratus-ratus pertanyaan itu, kau mulai memasuki tahap berikutnya. Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau harus berani menjawabnya. Kau harus yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang kau munculkan sendiri. Setelah itu, endapkan! Biarkan jawaban-jawaban dari ratusan pertanyaanmu itu menguasai otakmu. Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil resiko."
Cukup satu ungkapan yang bisa menggambarkan pesan di atas, luar biasa!

You May Also Like

0 komentar