Blood Promise ~ Bahasa Indonesia (Chapter 6)

by - 3:13 PM

AKU MELESAT TEGAK, SETIAP BAGIAN dalam diriku terbangun dan waspada. Tidak ada cahaya lampu kota yang menembus melalui jendela hingga membuatku butuh beberapa detik untuk membiasakan diri melihat dalam gelap. Sydney meringkuk di kasurnya, wajahnya terlihat damai ketika ia tidur, tidak seperti biasanya.

Dimana Strigoi itu? Jelas tidak di dalam kamar kami. Apa dalam rumah ini? Semua orang bilang kalau jalan menuju kota kelahiran Dimitri sangat berbahaya. Namun, aku jadi berpikir kalau Strigoi juga akan memburu Moroi dan dhampir – meskipun manusia juga merupakan bagian besar dari diet mereka. Berpikir tentang pasangan yang ramah yang menerima kami ke dalam rumahnya, membuatku merasa dadaku mengeras. Tidak mungkin aku membiarkan sesuatu terjadi pada mereka.

Aku menyelinap keluar diam-diam dari tempat tidur, aku menggenggam erat pasakku dan merangkak dari kamar tanpa membangunkan Sydney. Tidak ada satupun yang bangun dan segera setelah aku sampai di ruang tamu, rasa mual itu hilang. Ok. Strigoi itu tidak berada di dalam rumah, yang berarti hal bagus. Mereka ada di luar, rupanya di samping rumah dekat kamarku. Masih bergerak perlahan, aku keluar dari pintu depan rumah dan berjalan di sudut rumah, setenang malam disekitarku.

Rasa mual itu semakin kuat ketika aku mendekati gudang dan aku tidak bisa melakukan apa-apa terhadap rasa mual itu, tapi aku merasa puas. Aku akan mengejutkan Strigoi ini yang mungkin berpikir bisa menyelinap masuk ke rumah kecil manusia di desa untuk makan malam. Ada. Tepat didekat pintu masuk gudang, aku bisa melihat bayang panjang bergerak. Kena, pikirku. Aku persiapkan pasakku dan mulai bergegas maju – dan kemudian sesuatu memukul pundakku.

Aku tersandung, heran, dan menatap tajam wajah Strigoi itu. Di ujung mataku, aku melihat bayangan di gudang berubah menjadi Strigoi lain dan melangkah ke arahku. Panik melanda diriku. Ada dua dan sistem pendeteksi rahasiaku tidak mampu membedakannya. Semakin buruk saja, mereka mendapatiku tengah ambruk.

Sebuah pikiran terlintas dipikiranku: Bagaimana jika satu dari mereka adalah Dimitri? Bukan. Paling tidak, yang paling dekat bukan Dimitri. Dia seorang wanita. Aku belum merasakan Strigoi yang kedua. Dia menuju ke sisiku yanglain dengan sangat cepat. Aku harus berurusan dengan gangguan ini secara langsung, dan menyingkirkan yang wanita dengan pasakku, berharap bisa melukainya, tapi dia mengelak begitu cepat sampai aku kesulitan melihat pergerakannya. Dia memukul ke arahku hampir terlihat sangat sangat santai. Aku tidak terlalu cepat bereaksi dan melayang menuju Strigoi yang lain – laki-laki dan jelas bukan Dimitri.

Aku merespon dengan cepat, melompat, dan menendangnya. Aku mengeluarkan pasakku, menciptakan jarak diantara kami tapi ini hanya berhasil sediki ketika yang wanita datang dari belakang dan menyambarku, menyentak tubuhku ke arahnya. Aku menangis tertahan dan merasakan tangannya di tenggorokanku. Aku sadar, dia mungkin akan memutuskan leherku. Teknik yang cepat, cara mudah untuk Strigoi ketika mereka ingin menyeret korban mereka untuk dimangsa.

Aku berjuang, medesak-desak tangannya sedikit demi sedikit, tapi ketika Strigoi yang lain mendekati kami, aku tahu semua itu sia-sia. Mereka berhasil mengejutkanku. Mereka berdua. Merka sangat kuat.

Rasa panik melanda dalam diriku, rasa takut yang luar biasa dan putus asa. Aku selalu taku setiap kali aku berkelahi dengan Strigoi, tapi ketakutan kali ini sudah melewati titik terparah. Rasa takut yang tidak fokus dan di luar kendali, dan menduga kalau rasa ini dikarenakan kegilaan dan kegelapan yang kuserap dari Lissa. Perassan itu meledak dalam diriku dan aku bertanya-tanya apakah ketakutan itu akan menghancurkanku sebelum Strigoi yang melakukannya. Aku sedang berada dalam situasi sekarat berbahay yang nyata sekarang – dan membiarkan Sydeny dan yang lain terbunuh. Pikiran marah dan sedih mencekikku.

Kemudia, tiba-tiba, bumi seakan meledak dan terbuka. Bentuk tembus pandang, bercahaya lembut dalam kegelapan, bermunculan dimana-mana. Sebagian terlihat seperti manusia normal. Yang lain terlihat mengerikan, wajah mereka kurus kering seperti tengkorak. Hantu. Roh. Mereka mengelilingi kami, kehadiran mereka membuat rambutku berdi dan mengirimkan rasa sakit kepala yang luar biasa melalu tengkorak kepalaku.

Para hantu itu berbalik ke arahku. Aku pernah mengalami ini sebelumnya, di pesawat, ketika penampakan itu menyerbu dan mengancam untuk membunuhku. Aku mempersiapkan diriku sendiri, mencoba berusaha mati-matian untuk menmpulkan kekuatan untuk membangun pengahalang yang akan menutup diriku dari dunia roh. Itu adalah keahlian yang sudah aku pelajari ketikaaku biasanya berada disuatu tempat dan tidak ada kerjaan. Keputusasaan dan kepanikan situasi ini sudah memecahkan pengedalian diriku. Parahnya, darah mengental dalam tubuhku, aku mengucapkan harapan egois lagi kalu Mason tidak menemukan ketenangan dan meninggalkan dunia ini. Aku akan merasa lebih baik andai saja hantu Mason ada disini.

Kemudian aku sadar kalau aku bukanlah target mereka. Para hantu mengitari kedua Strigoi itu. Roh tidak memiliki bentuk padat, tapi setiap mereka menyentuh dan melalui diriku, aku merasa seperti diterpa es. Strigoi wanita tiba-tiba mulai melambai-lambaikan tangan untuk menangkis penampakan itu, mengeram dan marah dan hampir terlihat seperti ketakutan. Kemunculan para hantu tidak mampu untuk menyakiti Strigoi, tapi mereka jelas sangat mengganggu – dan menghilangkan fokus mereka.

Aku menghunjam jantung Strigoi laki-laki itu bahkan sebelum ia melihat kedatanagnku. Mendadak, para hantu yang mengelilingi Strigoi laki-laki itu bergerak ke arah Strigoi wanita. Yang satu ini lumayan, aku mengakuinya. Meskipun ia berjuang untuk menagkis roh-roh itu menjauh, dia masih bisa menangkis seranganku dengan cukup baik. pukulan keberuntungan darinya memberikan ledakan bintang dimataku dan mengirimku ke dinding gudang. Aku masih merasakn induksi-hantu yang menyebabkan sakit kepala meledak-ledak dalam kepalaku , tapi ternyata kepala yang menabrak ke gudang pun tidak bisa menyembuhkannya. Mengejutkan, pusing, aku kembali ke arahnya dan melanjutkan perlawananku agar bisa menusuk jantungnya. Dia menjaga agar dadanya jauh dari jangkauanku – paling tidak sampai satu dari hantu yang mengerikan khususnya mengacaukan penjagaannya. Gangguan sementara itu memberiku kesempatan, dan aku mengnjum jantungnya juga. Dia jatuh ke tanah - meninggalkanku sendiri dengan para roh.

Dengan Strigoi, para hantu jelas ingin menyerang meraka. Denganku, lebih banyak terlihat seperti di pesawat. Mereka terlihat terpesona olehku, putus asa untuk mendapatkan perhatian dariku. Hanya saja, dengan puluhan hantu yang berkerumun, seolah aku seperti diserang juga.

Dengan putus asa, aku mencoba lagi untuk memanggil pelindungku kembali, untuk memblokir para hantu jauh dariku seperti yang pernah aku lakukan dulu. Usaha itu menyiksa. Entah bagaimana, emosi tidakstabilku membawa roh berdatangan dan ketika aku sudah sedikit lebih tenang sekarang, kontrol ketidakstabilanku semakin kuat membawa mereka datang kesini. Kepalaku terus saja berdenyut. Sambil mengertakkan gigi-gigiku, aku memfokuskan sedikit demi sedikit kekuatanku untuk memblokir ke luar para hantu itu.

“Pergi,” desisku. “Aku tidak perlu kalian lagi.”

Untuk sejenak, usahaku sepertinya sia-sia. Kemudian, perlahan, satu demi satu, roh-roh itu mulai memudar. Aku merasa pengendalian yang sudah aku pelajari sebelum perlahan melesat ke tempat lain. Segera, tidak ada apapun lagi disekitarku selain diriku sendiri, kegelapan, dan gudang – dan Sydney.

Aku menyadari kehadirannya ketika aku tersungkur di tanah. Dia berlari keluar rumah dengan memakai piama, wajahnya pucat. Berlutut di sampingku, dia membantuku duduk, ketakutan nampak dari wajahnya.

“Rose! apa kau baik-baik saja?”

Aku merasa setiap keping energi dalam otak dan tubuhku telah terhisap habis. Aku tidak mampu bergerak. Aku tidak mampu berpikir.

“Tidak,” kataku padanya.
dan kemudian aku pingsan.

Aku memimpikan Dimitri lagi, tangannya yang memelukku dan wajah yang tampan bersandar padaku untuk menyemangatiku seperti yang selalu ia lakukan ketika aku sakit. Memori masa lampau mendatangiku, kami berdua menertawakan beberapa leucon. Terkadang, dalam mimpi ini, dia membawaku pergi. terkadang, kami tengan mengendarai mobil. Sesekali wajahnya akan mulai berbah menjadi gambaran menakutkan Strigoi ynag selalu mennyiksaku. Kemudian dengan cepat aku memerintahkan pikiranku untuk menghapun bayangan itu pergi.

Dimitri telah sering kali manjagaku dan selalu ada disaat aku membutuhkannya. Meskipun kedua hal itu sudah tidak ada lagi. Kuakui, dia tidak berakhir di ruang kesehatan sebanyak aku. Dan hal itu hanyalah keberuntunganku. Bahkan jika dia sedang terluka, ia tidak akan pernah mau mengakuinya. Dan ketika aku bermimpi dan berhalusinasi, gambaran yang datang padaku adalah ketikan beberapa kali aku bisa menjaganya.

Hanya sebelum sekolah diserang, Dimitri termasuk di dalam bagian ujian denganku dan rekan-rekan novisku untuk melihat seberapa baik kami bereaksi terhadap serangan kejutan. Dimitri begitu sulit untuk dihadapi dan bahkan tidak mungkin untuk dikalahkan, meskipun ia mendapat beberapa lebam beberapa kali. Aku berlari ke arahnya dia tempat latihan sekali selama tes ini berlangsung, terkejut melihat luka di pipinya. Terlihat tidak parah tapi ada banyak darah yang keluar.

“Apa kau sadar kalau kau bisa berdarah hingga mati?” seruku. Sedikit berlebihan tapi tetap saja aku melakukannya.

Dia menyentuh pipinya dengan cueknya dan terlihat sadar akan luka yang ia dapat dari pertama. “ Aku tidak akan melangkah terlalu jauh. Ini bukan apa-apa.”

“Itu bukan apa-apa sampai kau terkena infeksi!”

“Kau tahu itu tidak mungkin,” katanya keras kepala. Itu benar. Moroi - selain terjangkin penyakit langka, seperti yang dialami Victor – sangat susah terserang penyakit. Kami para dhampir mewarisi hal itu dari mereka, sama seperti tato milik Sydney yang memberinya perlindungan. Meskipin begitu, aku tidak akan membiarkan Dimitri berdarah terlalu banyak.

“Ayo,” kataku, menunjuk ke kamar mandi kecil di ruangan itu. Suaraku sedikit sengit dan aku terkejut ketika dia menurutinya.

Setelah membasahi sebuah handuk, dengan lembut aku membersihkan wajahnya. Dia terus saja memprotes pada walnya tapi akhirnya ia jatuh diam. Kamar mandi itu kecil, dan kami hanya beberapa inci satu sama lain. Aku bisa mencium bau bersih memabukkan dari dirinya dan mempelajari setiap detil wajah dan tubuh kuatnya. Jatungku berdetak cepat didadaku, tapi kami harus bersikap baik, jadi aku mencoba tampil tenang dan bijaksana. Dia tenang juga, tapi ketika aku menyapu rambut belakng di samping telinganya untuk membersihkan wajahnya, dia tersentak. Ujung jariku menyentuh kulitnya dan mengirimkan gelombang kaget melalui diriku, dan dia merasakan hal yang sama. Dia menangkap tanganku dan menjauhkannya dari wajahnya.
“Cukup,” katanya, dengan suara serak. “Aku baik-baik saja.”
“Apa kau yakin?” tanyaku. Dia masih belum melepaskan tanganku. Kami sangat, sangat dekat. Kamar mandi kecil itu seperti sudah siap meledak dengan adanya aliran listrik dahsyat diantara kami berdua. Aku tahu ini akan segera berakhir tapi aku benci jika harus melepaskannya. Tuhan, terkadang sangat sulit untuk menjadi bertanggungjawab.

“Ya,” katanya. Suaranya lembut dan aku tahu dia tidak marah padaku. Dia hanya takut, takut betapa kami hanya perlu waktu sebentar untuk menyalakan api diantara kami. Seperti sebelumnya, aku merasa kehangatan menyelimutiku, hanya dengan merasakan tangannya. Menyentuhnya membuatku merasa lengkap, seperti menemukan orang yang tepat untukku selama ini.

“Terima kasih, Roza.”
Dia melepaskan tanganku dan kami pergi, sama-sama kembali ke aktifitas kami masing-masing. Tapi perasaan yang kudapat dari kulit dan rambutnya bertahan berjam-jam padaku setelah itu ...

Aku tidak tahu mengapa aku memimpikan kenangan itu setelah diserang didekat gudang. Rasanya aneh kalau aku memimpikan menjaga Dimitri ketika aku lah yang perlu dirawat. Kurasa tidak jadi masalah ingatan apa yang datang, selama ada Dimitri di dalamnya. Dimitri selalu membuatku merasa lebih baik, bahkan dalam mimpi sekalipun, memberiku kekuatan dan keteguhan hati.

Tapi saat aku berbaring mengigau dan antara sadar dan tidak, wajah menenangkannya sesekali bercampur dengan mata merah yang mengerikan dan taring. Aku merengek, berjuang keras untuk menjauhkan bayangan itu. Dilain waktu, dia tidak terlihat seperti Dimitri. Dia berubah menjadi lelaki yang tidak aku kenal, seorang Moroi tua denga rambut yang hitam dan mata licik, perhiasan emas berkilauan di leher dan telinganya. Aku menangis memanggil Dimitri lagi, dan akhirnya, wajahnya kembali hadir, damai dan indah.

Pada satu titik, gambaran itu berubah lagi. kali ini wajah seorang wanita. Jelas, dia bukan Dimitri, tapi ada sesuatu dari mata cokelatnya yang mengingatkanku padany. Dia lebih tua, empat puluh tahunan kira-kira, dan seorang dhampir. Dia meletakkan kain dingin di dahiku dan aku sadar kalau aku tidak lagi bermimpi. Tubuhku sakit dan aku sedang berada di ranjang yang asing, di ruangan yang asing. Tidak ada tanda-tanda Strigoi. Apakah aku juga bermimpi?

“Jangan coba bergerak,” kata wanita itu dengan aksen Rusia yang kental. “Kau mendapat beberapa pukulan.”

Mataku melebar saat gambaran di gudang itu kembali padaku, hantu-hantu yang kupanggil. Itu bukan mimpi.

“Dimana Sydney? Apa dia baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja. Jangan khawatir.” Kadang suara wanita ini mengisyaratkan padaku kalau aku bisa mempercayainya.

“Dimana aku?”
“Di Baia.”

Baia, Baia. Entah dimana, di dalam kepalaku, nama itu terdengar tidak asing. Tiba-tiba semuanya terjawab. Dulu, dulu sekali, Dimitri pernah mengatakannya. Dia hanya pernah menyebutkan nama kotanya sekali dan bahkan meskipun aku telah mencoba, aku tidak pernah bisa mengingatnya. Sydney tidak pernah mengatakan nama kotanya. Tapi sekarang kami disini. Di kampung halaman Dimitri.

“Kau siapa?” tanyaku.
“Olena,” jawabnya. “Olena Belikova.”


Diterjemahkan langsung dari Novel Vampir Academy: Blood Promise karya Richelle Mead oleh Noor Saadah. This is truly  fanmade and  no profit work.

You May Also Like

5 komentar

  1. ehm...
    chapter selanjutnya mana ?

    cpt y..
    hehehehe
    tq

    ReplyDelete
  2. Sip.... ^ . ^
    Thanks for reading yaa...

    ReplyDelete
  3. Chapter selanjutnya di tunggu ya :)

    ReplyDelete
  4. Cathlin :: muakasieehh.... :D
    Mawar :: Siiip dehh

    ReplyDelete