Spirit Bound ~ Bahasa Indonesia (Chapter 7) part 1
“TIDAK DENGAN GIGIMU!,” aku menambahkan buru-buru. “Lemparkan
dirimu padaku. Piting aku dengan lenganmu. Apapun yang bisa kau lakukan.”
Victor Dashkov bukan pria bodoh. Orang lain mungkin akan ragu atau bertanya banyak hal. Dia tidak. Dia mungkin tidak tahu apa tepatnya yang sedang terjadi, namun dia bisa merasakan bahwa ini adalah sebuah kesempatan untuk bebas. Bahkan mungkin satu-satunya kesempatan yang bisa ia dapatkan. Dia adalah seseorang yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya mendalangi alur yang rumit, jadi dia sudah terlatih dalam hal menyelipkan diri dalam aliran alur itu.
Victor Dashkov bukan pria bodoh. Orang lain mungkin akan ragu atau bertanya banyak hal. Dia tidak. Dia mungkin tidak tahu apa tepatnya yang sedang terjadi, namun dia bisa merasakan bahwa ini adalah sebuah kesempatan untuk bebas. Bahkan mungkin satu-satunya kesempatan yang bisa ia dapatkan. Dia adalah seseorang yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya mendalangi alur yang rumit, jadi dia sudah terlatih dalam hal menyelipkan diri dalam aliran alur itu.
Mengangkat
tangannya semampu yang ia bisa, ia menyergapku, membuat sebuah pertunjukkan hebat karena mencoba mencekikku dengan rantai diantara borgolnya. Saat dia
melakukannya, aku menjerit kesakitan. Segera, para penjaga yang ada disana mencoba
mengehentikan tahanan gila ini yang tanpa alasan menyerang seorang gadis yang
malang. Namun saat mereka mencoba menundukkannya, aku melompat dan menyerang
mereka. Bahkan meskipun mereka sudah menduga kalau aku berbahaya – dan mereka
tidak menduganya – aku memiliki banyak unsur kejutan sehingga membuat mereka
tidak sempat bereaksi. Aku hampir merasa bersalah karena hal ini tidak adil
untuk mereka.
Pukulan
pertamaku sangat keras sehingga dia kehilangan pegangan terhadap Victor dan
terbang ke belakang, menabrak dinding di dekat Lissa sehingga ia mengkompulsi
Nortwood dengan ketakutan untuk tetap tenang dan tidak menelepon siapapun di
tengah kekacauan ini. Penjaga yang satunya memiliki sedikit waktu untuk
bereaksi, tapi dia masih terhitung lambat saat melepaskan Victor dan berbalik
ke arahku. Aku menggunakan kesempatan pembukaannya dan berhasil memukulnya,
memaksa kami untuk terlibat dalam sebuah pertandingan gulat. Dia besar dan
tangguh, dan sekali dia menganggapku sebagai ancaman, dia tidak menahan diri.
Sebuah pukulan di bahuku mengirimkan rasa sakit melalui lenganku, dan aku
membalas dengan sebuah serangan lutut cepat di perutnya. Sementara itu,
rekannya berdiri mendatangi kami. Aku harus mengakhirinya dengan cepat, tidak
hanya untuk kebaikan diriku sendiri tapi juga karena mereka tanpa ragu akan
memanggil bala bantuan jika diberikan kesempatan. Aku menarik penjaga yang
terdekat denganku dan mendorongnya ke dinding sekeras yang aku bisa – dengan
kepala terlebih dahulu. Dia terhuyung-huyung, bingung, dan aku melakukannya
lagi, sampai rekannya menghampiriku. Penjaga pertama itu merosot ke tanah,
tidak sadar. Aku benci melakukannya, tapi bagian dari latihanku adalah
mempelajari untuk membedakan antara melumpuhkan dan membunuh. Dia harusnya
hanya akan merasa sakit kepala. Kuharap begitu. Namun penjaga yang satunya
terlihat sudah dalam posisi menyerang, sehingga aku dan dia berputar-putar, mencari
kesempatan dan mengelak serangan masing-masing.
“Aku
tidak bisa menjatuhkannya!” aku berseru memanggil Lissa. “Kita memerlukannya.
Pengaruhi dia.”
Respon
Lissa datang melalui ikatan kami. Dia bisa mengkompulsi dua orang dalam waktu
yang sama, tapi hal ini memerlukan
banyak tenaga. Kami belum keluar dari sini dan Lissa tidak bisa mengambil
resiko untuk membakar dirinya sendiri secepat ini. Rasa frustasi menggantikan
ketakutan dalam dirinya.
“Nothwood,
tidurlah,” Lissa membentaknya. “Disana. Diatas mejamu. Kau sangat kelelahan dan
akan tidur selama berjam-jam.”
Dari
ujung mataku, aku bisa melihat Northwood terduduk, kepalanya membentur meja
dengan suara thump. Semua orang yang
bekerja di ruangan ini akan mendapatkan geger otak setelah kami masuk kesini. Aku
melemparkan diriku pada sang penjaga, menggunakan seluruh berat badanku untuk
membuatnya tepat berada dalam garis penglihatan Lissa. Lissa masuk ke dalam
pertarungan kami. Penjaga itu meliriknya dengan kaget, dan hanya itu yang Lissa
perlukan.
“Berhenti!”
Si
penjaga tidak merespon secepat Northwood, namun dia mulai ragu. Laki-laki ini
lebih kebal.
“Berhenti
berkelahi!” Lissa mengulanginya dengan lebih tegas, mengintensifkan
perintahnya. Kuat atau tidak, dia tidak bisa mengelak dari kemampuan roh
sebanyak itu. Lengannya jatuh di sisi tubuhnya, dan dia berhenti bergulat
denganku. Aku mundur untuk menarik nafas, merapikan rambut palsuku di tempat
yang seharusnya.
“Menahan
yang satu ini bisa jadi menyusahkan,” kata Lissa padaku.
“Susah
selama lima menit atau lima jam?”
“Tengah-tengahnya.”
“Kalau
begitu ayo bergerak. Ambil kunci Victor darinya.”
Lissa
memerintah si penjaga untuk memberikannya kunci dari rantai Victor. Penjaga itu
mengatakan kalau penjaga yang satunya yang memilikinya. Tentu saja aku langsung
menggeledah tubuh tidak sadar itu – terima kasih Tuhan, dia masih bernafas
teratur – dan mengambil kunci itu. Sekarang aku menarik seluruh perhatianku ke Victor. Sekali pertarungannya
dimulai, Victor mundur dari alur perkelahian dan memperhatikan dalam diam
sementara segala kemungkinan baru terbentuk di dalam pikirannya yang berputar.
Aku
mendekatinya dengan memasang “wajah
sangar”ku saat aku memegang kunci itu. “Aku akan membuka borgolmu sekarang,”
kataku padanya, dalam suara yang manis sekaligus mengancam. “Kau akan melakukan
persis seperti apa yang aku perintahkan. Kau tidak akan lari, memulai
perkelahian, atau apapun yang mengganggu rencana kami.”
“Oh?
Apa kau sekarang menggunakan kompulsi juga, Rose?” tanyanya kering.
“Aku
tidak memerlukannya.” Aku membuka belenggunya. “Aku bisa membuatmu tidak sadar
semudah membuat laki-laki itu pingsan dan menyeretmu keluar. Tidak ada bedanya
bagiku."
Borgol
dan rantai yang berat itu jatuh di lantai. Tampilan licik dan sombong masih
bertahan di wajahnya, namun tangannya dengan perlahan menyentuh pergelangan
tangannya sendiri. Aku kemudian menyadari ada bilur-bilur dan noda biru di kedua pergelangan tangannya.
Belenggu-belenggu tersebut tidak dibuat untuk kenyamanan, namun aku menolak
untuk bersimpati padanya. Dia menatap kami.
“Betapa
menariknya,” dia tertawa geli. “Dari semua orang yang mencoba menyelamatkanku,
aku tidak pernah memikirkan kalian berdua ... namun, jika dipikir kembali,
kalian lah yang mungkin paling mampu melakukannnya.”
“Kami
tidak membutuhkan komentarmu, Hannibal,” aku menyentakknya. “Dan jangan gunakan
kata menyelamatkan. Kata itu membuat
mu seolah menjadi pahlawan yang salah tahan.”
Dia
menaikan sebelah alisnya, seolah dia yakin bahwa itulah kejadian yang
sebenarnya terjadi. Namun, bukannya
mendebat kami, dia mengangguk ke arah Bradley, yang sebenarnya tertidur selama
pertarungan. Dalam kondisi pengaruh obat-obatannya, kompulsi Lissa sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tidak
sadar.
“Berikan
dia padaku,” kata Victor.
“Apa?”
aku berseru. “Kita tidak punya waktu untuk ni!”
“Dan
aku tidak punya kekuatan untuk apapun yang ada dalam pikiranmu,” desis Victor.
Topeng kepuasan diri dan tahu segala hal menghilang dari wajahnya, berganti
dengan tampang kejam dan putus asa. “Tahanan itu lebih dari sekedar jeruji
besi, Rose. Mereka membuat kami kelaparan dari makanan dan darah, mencoba
membuat kami tetap lemah. Berjalan kesini adalah satu-satunya latihan yang aku
dapatkan, dan itu perlu usaha yang cukup keras. Kecuali kalau kau benar-benar
berencana untuk menyeretku keluar dari sini, berikan aku darah!”
Lissa
menyela respon yang bisa kubuat. “Lakukan dengan cepat.”
Aku
menatapnya heran. Aku hampir melarang Victor, namun melalui ikatan kami, aku
merasakan campuran perasaan aneh dari Lissa. Rasa iba dan ... mengerti. Oh, dia
masih membenci Victor, tentu saja. Tapi dia juga paham bagaimana rasanya hidup
dengan darah terbatas.
Untungnya,
Victor sangat cepat. Mulutnya sudah berada di leher manusia itu bahkan sebelum Lissa
selesai bicara. Kaget atau tidak, merasakan gigi di lehernya, cukup kuat untuk
membangunkan Bradley. Dia terbangun, dan kemudian wajahnya segera berubah
menjadi pendonor bahagia yang telah terkena endorfin vampir. Hanya sedikit
darah yang diperlukan oleh Victor, namun kemudian mata Bradley mulai membelalak
terkejut, aku sadar kalau Victor mengambl lebih dari sekedar minuman singkat.
Aku melompat maju dan menyentak Victor menjauh dari pendonor yang terkejut itu.
“Apa
yang kau lakukan?” aku membentaknya,
menggoyangkan badannya dengan keras. Itu adalah hal yang ingin aku lakukan
sejak dulu. “Apa kau pikir kau bisa mengeringkannya dan menjadi Strigoi tepat
di hadapan kami?”
“Hampir
tidak,” jawab Victor, meringis karena peganganku terhadapnya.
“Bukan
itu yang ia lakukan,” kata Lissa. “Dia hanya kehilangan kendali beberapa saat.”
Nafsu
darahnya terpuaskan, sikap lembut Victor telah kembali. “Ah, Vasilisa. Selalu
mengerti.”
“Jangan
membuat asumsi apapun,” jawab Lissa menggeram.
Aku
menembakkan tatapanku ke arah mereka berdua. “Kita harus pergi. Sekarang.” Aku
berbalik ke arah si penjaga yang sudah dikompulsi. “Bawa kami ke ruangan dimana
mereka memonitor semua rekaman keamanan.”
Dia
tidak merespon pada perintahku, dan dengan sebuah desahan, aku menatap dengan
berharap ke arah Lissa. Dia mengulangi perintahku dan penjaga itu segera mulai
meninggalkan ruangan. Adrenalinku berpacu cepat untuk bertarung, dan aku
merasa bingung untuk menyelesaikan ini semua dan mengeluarkan kami semua dari sini. Melalui ikatan kami, aku merasakan kegugupan Lissa. Dia mungkin membela
kebutuhan darah untuk Victor, namun saat kami berjalan, dia menjaga jarak
sejauh yang ia bisa dari Victor. Kesadaran yang tajam dari siapa dia dan apa yang
telah ia lakukan telah membuat Lissa ngeri. Aku berharap aku bisa
menenangkannya, tapi kami tidak punya waktu.
Kami
mengikuti si penjaga – Lissa menanyakan namanya: Giovanni – melalui lebih
banyak ruangan dan pemeriksaan keamanan. Rute yang ditunjukkannya pada kami
merupakan rute memutar sisi penjara, bukan melalui tahanan. Aku menahan nafasku
hampir disepanjang waktu, takut kalau kami bertemu seseorang. Begitu banyak
faktor yang bekerja melawan kami; kami tidak memerlukannya juga. Meskipun
begitu, kami berpegang pada keberuntungan kami, kami tidak bertemu siapapun –
lagi, mungkin dikarenakan kami melakukan semua ini di akhir malam dan tidak
melewati zona dengan keamanan tinggi.
Lissa
dan Mia telah membuat penjaga kerajaan mengahapus rekaman keamanan di istana,
namun aku tidak menyaksikan prosesnya. Sekarang, saat Giovanni mengantar kami
ke ruang pengawasan penjara, aku tidak bisa menahan nafas kecilku.
Monitor-monitor menutupi dinding, dan
konsol dengan tombol
yang rumit serta beberapa saklar di depan mereka. Meja-meja ditutupi komputer dimana-mana. Aku merasa
seolah ruangan ini memiliki kemampuan untuk meluncur ke luar angkasa. Semua
yang ada di penjara berada dalam pengawasan : setiap sel, beberapa lorong, dan
bahkan kantor sang sipir, dimana Eddie duduk dan mencoba mengobrol kecil dengan
Theo. Dua pengawal lain ada disini, dan aku bertanya-tanya jika mereka telah
melihat kami di lorong. Tapi tidak – mereka terlalu terpaku kepada sesuatu yang
lain: sebuah kamera yang berbalik menghadap dinding. Itu adalah kamera yang telah aku
atur di kamar donor.
Mereka
mencondongkan badan ke arah layar itu, dan satu dari mereka sedang berkata
bagaimana kalau mereka memanggil seseorang untuk mengeceknya kesana. Kemudian
mereka berdua mendongak dan menyadari keberadaan kami.
“Bantu Rose
menundukkan mereka,” Lissa memberi perintah kepada Giovanni.
Ada
keraguan disana, lagi. Kami seharusnya memilih “pembantu” dengan keinginan yang
lebih lemah, namun Lissa sama sekali tidak tahu saat ia memilihnya.
Seperti
sebelumnya, dia bahkan memunculkan aksi. Juga seperti yang sebelumnya,
kekagetan dialami selama menundukkan kedua pengawal ini. Aku adalah orang
asing – seketika menaikan tingkat kewaspadaan mereka – namun masih muncul
sebagai manusia. Giovanni adalah teman kerja mereka; mereka tidak mengira akan
adanya serangan darinya. Mekskipun begitu, hal itu tidak membuat mereka mudah
untuk ditaklukkan. Memberikan bantuan selama perjalanan ini dan Giovanni cukup
bagus dalam pekerjaannya. Kami membuat satu dari pengawal itu tidak sadar
dengan cepat, Giovanni menggunakan cekikan untuk menghentikan aliran pernafasan
lelaki itu sampai dia pingsan. Pengawal yang lain menjaga jarak dari kami, dan
aku menyadari kalau matanya terus menerus bergerak ke arah salah satu dinding.
Dinding
itu memiliki sebuah alat pemadam kebakaran, sebuah tombol lampu, dan sebuah
tombol biru berbentuk bulat.
“Itu
alarm!” seru Victor bersamaan dengan si pengawal menerjang tombol itu. Giovanni
dan aku menangkapnya pada saat yang sama, menghentikannya tepat sebelum
tangannya mampu menjamah tombol yang bisa mengirimkan sepasukan pengawal untuk
menyerang kami. Sebuah pukulan di kepalanya membuat si pengawal ini juga
pingsan. Dengan menghitung tiap orang yang aku
kalahkan untuk menerobos penjara ini, rasa kejang karena rasa bersalah dan mual
melilit kuat dan semakin kuat di dalam perutku. Para pengawal adalah tokoh
baiknya, dan aku tidak bisa menolak untuk berpikir bahwa aku sedang bertarung di sisi kejahatan.
Sekarang
tinggal kami disini, Lissa sudah tahu apa langkah selanjutnya.
“Giovanni,
matikan semua kamera dan hapus semua rekaman di jam-jam terakhir.”
Ada
keraguan yang besar di diri Giovanni kali ini. Membuatnya melawan teman-temannya
cukup memerlukan banyak kekuatan kompulsi Lissa. Lissa masih menjaga kontrol
dirinya namun dia mulai semakin lelah, dan ini hanya membuatnya semakin
kesulitan untuk membuat Giovanni menuruti perintah kami.
“Lakukan,”
Victor menggeram, berdiri di samping Lissa. Lissa tersentak dengan jaraknya
yang begitu dekat dengan Victor, namun saat tatapan Victor bergabung dengan
tatapannya, Giovanni memenuhi perintah itu dan mulai menyentuh saklar di atas
konsol. Victor tidak bisa menandingi
kekuatan Lissa dengan tatapan lama, namun ledakan kompulsi kecilnya mampu
menguatkan kompulsi Lissa.
Satu
demi satu, monitor berubah menjadi hitam, dan kemudian Giovanni mengetikkan
beberapa perintah di komputer dimana rekaman dari kamera disimpan.
Lampu
merah tanda kesalahan menyala di atas
konsol, namun tidak ada siapa pun disini yang memperbaikinya sekarang.
“Meskipun
dia menghapusnya, ada kemungkinan seseorang bisa mengembalikan data dari hard drive nya,” Victor mengingatkan.
“Hanya
ini kesempatan yang bisa kita dapatkan,” kataku kesal. “Memprogram ulang atau
apapun tidak ada dalam kemampuanku.”
Victor
memutar matanya. “Mungkin, namun penghancuran jelas bisa menghapus semuanya.”
Perlu
waktu beberapa lama untuk memahami apa yang dia maksud, namun kemudian aku
paham. Dengan menarik nafas, aku mengambil alat pemadam kebakaran dari dinding
dan memukul komputer itu hingga menjadi bubur dan tidak menyisakan apa-apa lagi
kecuali beberapa pecahan plastik dan potongan-potongan logam. Lissa meringis
setiap kali aku memukul dan terus melirik ke arah pintu.
“Kuharap
ruangan ini kedap suara,” dia bergumam.
“Kelihatannya
begitu,” aku menjawab dengan percaya diri. “Ruangan
ini terlihat kokoh,” kataku “Dan sekarang waktunya pergi.”
Lissa
memerintahkan Giovanni untuk mengembalikan kami ke kantor sipir di depan
penjara. Dia patuh, membimbing kami kembali melewati lorong berliku yang sudah
kami lewati sebelumnya. Kode dan kartu pengamannya membantu kami melewati
setiap pos pemeriksaan.
“Kukira
kamu tidak bisa memaksa Theo untuk membawa kita keluar?” Aku bertanya pada
Lissa.
Mulutnya
membentuk garis suram. Dia menggelengkan kepalanya. “Aku bahkan tidak tahu
seberapa lama aku bisa mempengaruhi Giovanni. Aku belum pernah menggunakan
seseorang sebagai boneka sebelumnya.”
“Tidak
apa-apa,” kataku, mencoba meyakinkan kami berdua. “Kita hampir selesai dengan
semua ini.”
Tapi
kami akan bertemu dengan perkelahian yang lain dengan tangan kami. Setelah menghajar
separuh Strigoi di Russia, aku masih merasa nyaman dengan kekuatannku sendiri,
namun perasaan bersalah itu tidak pernah meninggalkanku. Dan jika kami
menghadapi selusin penjaga, bahkan kekuatanku pun tidak akan bisa terus digunakan.
Aku
sudah kehilangan arah, jauh dari cetak biru yang sudah kupersiapkan, namun
arahnya berubah menjadi rute Giovanni yang bagaimanapun membimbing kami kembali
ke kantor utama melalu sebuah blok dari semua sel. Tanda yang terbaca diatasnya
PERINGATAN – SEKARANG MEMASUKI DAERAH TAHANAN (GANGGUAN KEJIWAAN).
“Gangguan
jiwa?”
“Tentu
saja,” Victor bersungut. “Kau pikir kemana lagi mereka akan mengirimkan tahanan
yang memiliki masalah kejiwaan?”
“Ke
remuh sakit,” sahutku, menahan lelucon bahwa
semua kriminal memang memiliki masalah kejiwaan.
“Well,
tidak selalu –“
“Berhenti!”
Lissa
memotong perkataannya dan mendadak berhenti tepat di depan pintu. Kami hampir
saja menabraknya. Dia tersentak menjauh, mengambil beberapa langkah mundur.
“Ada
yang salah?” tanyaku.
Lissa
berbalik ke arah Giovanni. “Temukan jalan lain menuju kantor.”
“Ini
jalan tercepat,” Giovanni menentang.
Lissa
perlahan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak peduli. Cari jalan lain, jalan
yang tidak membuat kita bertemu orang lain.”
Giovanni
mengerutkan mukanya, namun kompulsi Lissa masih menguasainya. Dia mendadak
berbalik, dan kami bergegas mengikutinya.
“Ada
yang salah?” aku mengulangi pertanyaanku.
Pikiran Lissa terlalu kusut untukku pahami alasan dari tindakannya ini.
Dia meringis.
“Aku
merasakan aura roh dibelakang sana.”
Diterjemahkan langsung dari novel Richelle Mead, Spirit Bound oleh Duestinae89 a.k.a Noor Saadah hehehe. I hope you will like it. And thanks for waiting and reading. I'll continue when this post reach 200 readers. Thanks ;)
2 komentar
shadow kissnya dilanjuti dong:(
ReplyDeleteDear Anonim,
DeleteSayang sekali untuk Shadow Kiss nya ngga bisa dilanjutkan lagi, karena buku versi bahasa Indonesianya sudah terbit. :)
Sekarang lebih ke Spirit Bound karena bukunya tidak ada dalam versi bahasa Indonesia.
Thanks for reading :)